TEMPO.CO, Jakarta - Singapura telah menjadi perhatian dunia dalam dua pekan terakhir menyusul terpilihnya negara itu sebagai tempat penyelenggaraan pertemuan pertama Presiden Amerika Serikat, Donald Trump dan Pemimpin Korea Utara, Kim Jong Un. Pantauan Tempo pada Senin, 11 Juni 2018 atau sehari menjelang dilaksanakannya pertemuan, aktivitas masyarakat Singapura berjalan seperti biasa, tak terganggu oleh kehebohan pelaksanaan pertemuan yang mengerahkan ribuan pasukan keamanan serta peliputan media dari berbagai dunia.
Aktivitas perkantoran dan sekolah-sekolah di Singapura berjalan normal. Di luar Bandara Changi, Singapura, tidak terlihat aparat keamanan. Personel militer hanya terfokus di Pulau Sentosa, tempat diselenggarakannya pertemuan penting antara Kim dan Presiden Trump. Selain di Pulau Sentosa, tidak ada penutupan jalan.
Baca: Trump - Kim Bertermu, Singapura Siapkan 45 Jenis Masakan
Masyarakat Singapura beraktivitas seperti biasa ditengah keramaian dunia terkait pertemuan bersejarah dua kubu yang saling bersitegang soal program senjata nuklir, Senin, 11 Juni 2018. Sumber: [TEMPO/Suci Sekar]
Baca: KTT Trump - Kim: Singapura Usir Wartawan Korea Selatan
Hampir seluruh warga Singapura mengetahui kabar pertemuan kedua pemimpin negara ini, bahkan menjadi perbincangan para turis. Namitha, warga negara India yang sudah delapan tahun tinggal di Singapura, tahu mengenai pertemuan negosiasi antara Trump dan Kim, namun dia mengaku tak terlalu peduli dengan isu ini.
Sedang Seow, mengaku bangga Singapura, negaranya bisa dipercaya menjadi tempat penyelenggaraan pertemuan penting yang menjadi perhatian dunia.
"Tentu ada rasa bangga. Ini adalah sebuah kepercayaan bagi Singapura yang selama ini di kenal netral dalam perseteruan antara Kim Jong Un dan Presiden Trump," kata Seow, yang enggan menyebut nama belakangnya.
Kim dan Trump untuk pertama kali akan bertemu untuk pertama kali di Hotel Capella yang terletak di Pulau Sentosa, Singapura, pada 12 Juni 2018 pukul 09.00 waktu setempat. Amerika Serikat menginginkan Korea Utara benar-benar meninggalkan program senjata nuklirnya, sebaliknya Pyongyang sedang tertatih menyusul derasnya tekanan sanksi-sanksi ekonomi pada negara itu akibat pengembangan program senjata nuklirnya.