TEMPO.CO, Jakarta - Google tidak akan mengizinkan pengunaan perangkat lunak kecerdasan buatannya digunakan untuk senjata atau pengawasan yang tidak masuk akal di bawah kebijakan baru perusahaan.
Larangan ini akan membantu menajemen meredam portes yang dilakukan ribuan pegawainya yang menentang kerjasama dengan militer Amerika Serikat untuk identifikasi objek melalui drone video.
Baca: Jual Rahasia ke Cina, Eks Intelijen Amerika Serikat Ditangkap
Namun google akan membuat kontrak dengan pemerintah dalam bidang keamanan cyber, rekrutmen militer, dan SAR, seperti dikatakan Kepala Eksekutif Google, Sundar Pichai pada Kamis 7 Juni, dilansir dari Reuters, 8 Juni 2018.
"Kami ingin ini menjadi jelas bahwa kami tidak akan menggunakan kecedasan buatan untuk senjata, kami akan melanjutkan kerjasama dengan pemerintah dan militer di bidang lain," ujar Pichai.
Terobosan dengan biaya dan kinerja komputer canggih telah membawa kecerdasan buatan Google dari laboratorium penelitian ke dalam industri seperti pertahanan dan kesehatan dalam beberapa tahun terakhir. Google menjadi penjual perangkat kecerdasan buatan terkemuka, yang memungkinkan komputer meninjau kumpulan data besar untuk membuat prediksi dan mengidentifikasi pola dan anomali lebih cepat daripada manusia.
Baca: Israel Ingin AS Rahasiakan Perangkat Lunak F-35 Dari Turki
CEO Google Sundar Pichai meluncurkan situs baru Google.ai. Kredit: AOL/Engadget
Tetapi potensi sistem kecerdasan buatan ini bisa digunakan untuk menentukan serangan pesawat tak berawak lebih baik daripada spesialis militer atau mengidentifikasi mata-mata melalui kumpulan jaringan komunikasi online secara massal telah memicu kekhawatiran di kalangan ahli etika akademik dan karyawan Google.
Baca: Kumpulkan Data 4,4 Juta Pengguna iPhone, Google Digugat Rp 60 T
Seorang pejabat Google yang enggan disebut namanya, mengatakan perusahaan tidak akan bergabung dengan proyek drone tahun lalu karena memiliki prinsip-prinsip yang sudah ada. Proyek ini terlalu berhubungan dengan persenjataan, meskipun fokusnya adalah pada tugas-tugas non-ofensif.
Google telah mengumumkan tidak akan memperbarui kontrak untuk membantu militer Amerika Serikat menganalisis citra udara tak berawak yang akan berakhir pada Maret.
Baca: Aplikasi Google News Berteknologi AI Tersedia di Play Store
Program pertahanan, yang disebut Proyek Maven, memicu protes internal di dalam Google, karena karyawan menentang teknologi Google digunakan dalam peperangan. Pemrotes mengatakan proyek ini berlawanan dengan prinsip perusahaan yang tidak akan menggunakan teknologi untuk tujuan mematikan dan berbahaya. Lebih dari 4.600 karyawan menandatangani petisi yang menyerukan agar Google membatalkan kesepakatan.
Melalui Project Maven, Google menyediakan teknologi kecerdasan buatan ke Pentagon untuk membantu mendeteksi dan mengidentifikasi target yang ditangkap oleh gambar drone. Maven memiliki anggaran awal sebesar US$ 70 juta atau Rp 976 miliar. Manajemen Google telah mengatakan kepada karyawan bahwa Google mendapatkan kurang dari US$ 10 juta atau Rp 139 miliar untuk program Maven.