TEMPO.CO, Jakarta - Parlemen Irak mengesahkan undang-undang pada Rabu 6 Juni, yang memerintahkan penghitungan ulang suara secara nasional dalam pemilihan umum Irak 12 Mei lalu. Pengesahan ini dilakukan sehari setelah perdana menteri mengatakan telah terjadi pelanggaran serius saat pemilihan parlemen 12 Mei.
Pemilihan parlemen Irak pada 12 Mei lalu dimenangkan oleh blok yang dipimpin oleh ulama nasionalis Moqtada al-Sadr, musuh lama Amerika Serikat yang juga menentang kekuasaan Iran di Irak. Suara dihitung menggunakan sistem elektronik yang dimaksudkan untuk mencegah penipuan tetapi sekarang dipermasalahkan setelah diduga ada kecurangan.
Baca: Mahkamah Agung Irak Tolak Batalkan Hasil Pemilu
Perdana Menteri Haider al-Abadi, yang partainya berada di urutan ketiga, mengatakan pada Selasa bahwa ada pelanggaran berbahaya dan bahwa sebagian besar kesalahan terletak pada Komisi Tinggi Pemilihan Independen Irak (IHEC), akibatnya sejumlah pejabat tinggi IHEC dicekal berpergian ke luar negeri, seperti dilaporkan Reuters, 7 Juni 2018.
Tentara Irak mengantri masuk ke tempat pemungutan suara saat pemilihan umum di Baghdad, Irak, 10 Mei 2018. REUTERS/Thaeir al-Sudani
Parlemen mengamandemen undang-undang pemilu yang memaksa IHEC untuk melakukan penghitungan ulang secara manual, setelah awalnya menolak untuk melakukan itu. Undang-undang juga menangguhkan kepemimpinan komisi dan akan digantikan oleh sembilan hakim. Kepala lokal IHEC di setiap provinsi Irak juga akan digantikan oleh hakim yang semuanya dipilih oleh Dewan Yudisial Agung Irak.
"Komisi Pemilihan Tinggi Independen akan berkomitmen untuk penghitungan ulang secara manual di semua pusat pemungutan suara di Irak di bawah pengawasan Dewan Yudisial Tertinggi dan dengan kehadiran perwakilan dari kelompok-kelompok politik dan Perserikatan Bangsa-Bangsa," tulis isi teks amandemen.
Baca: Pemenang Pemilu Irak Banjir Dukungan Koalisi
Amandemen itu juga membatalkan hasil dari pemungutan suara di luar negeri dan pemilih dari pemilih yang terlantar di provinsi-provinsi yang terutama Sunni Anbara, Salahudin, Diyala dan Niniveh. Juru bicara IHEC menolak berkomentar terkait penghitungan ulang manual ini.
Suasana penghitungan suara hasil Pemilu Irak di Najaf, Irak. REUTERS
Dewan Yudisial Tertinggi sebelumnya mengatakan bahwa pengadilan tidak dapat memaksa IHEC untuk melakukan penghitungan ulang secara manual karena undang-undang menetapkan penggunaan alat penghitungan suara elektronik. Namun juru bicara dewan mengatakan tidak ada masalah lagi karena parlemen telah mengubah undang-undang itu.
Baca: Wapres Irak Minta Hasil Pemilu Parlemen Dibatalkan
Sistem penghitungan suara elektronik yang baru diperkenalkan oleh IHEC, diterapkan dalam pemilu 12 Mei dengan alasan suara elektronik dapat mengurangi penipuan dan mempercepat pengiriman hasil. Namun Perdana Menteri Irak, Abadi, mengatakan alat-alat itu tidak diperiksa sebelum digunakan dan bahwa ada kemungkinan korupsi dalam pengadaannya.
Dilansir dari Associated Press, Khaider Al-Abadi mengatakan bahwa ditemukan manipulasi yang tersebar dan gagalnya lembaga panitia pemilihan untuk menangani kerusakan alat.
Baca: Pemilu Irak, Koalisi Syiah dan Komunis Menang
Irak memberikan perusahaan Korea, Miru Systems, berupa kontrak senilai US$ 135 juta atau Rp 1,8 triliun untuk sistem tersebut, yang mencakup pengadaan sekitar 70.000 perangkat untuk digunakan di seluruh negeri.
Beberapa partai politik telah menyuarakan protes terhadap penggunaan perangkat sebelum pemilihan, tetapi Perdana Menteri Abadi menyetujui kontrak dan mendukung penggunaannya dalam pemilu Irak pada 12 Mei.