TEMPO.CO, Jakarta - Pendiri WikiLeaks, Julian Assange, dilaporkan siap bersaksi dalam penyelidikan dugaan campur tangan Rusia dalam pemilu presiden Amerika Serikat 2016. Kabar ini disampaikan oleh Randy Credico, rekan Assange, yang mengatakan Assange ingin berbicara dengan Adam Schiff, politisi Partai Demokrat untuk membersihkan semua permasalahan ini.
"Assange hanya ingin berbicara dengan tim penyidik jika mereka datang ke Kedutaan Besar Ekuador di London. Saya menantang Schiff agar terbang ke Inggris dan mewawancarai Assange," kata Credico, Jumat, 25 Mei 2018, dalam sebuah wawancara dengan radio MSNBC.
Baca: Wikileaks Rilis 1.860 Dokumen Tentang Indonesia
Julian Assange. AP/Lefteris Pitarakis
Baca: WikiLeaks: Julian Assange Jadi Warga Negara Ekuador
WikiLeaks adalah sebuah situs yang mempublikasi dokumen-dokumen rahasia negara dan perusahaan. Kantor pusat WikiLeaks bermarkas di Stockholm, Swedia. Sedangkan Assange sejak 2012 berada dalam pengasingan. Dia tidak mau keluar dari kantor Kedutaan Besar Ekuador di London karena takut akan diekstradisi ke Amerika Serikat untuk menghadapi tuntutan hukum terkait pembocoran data oleh WikiLeaks.
"Julian Assange adalah pusat dari semua ini, tetapi tidak ada satu pun yang mewawancarainya," kata Credico, seperti dikutip dari situs RT.com pada Sabtu, 26 Mei 2018.
Credico mengatakan telah menyampaikan kesiapan Assange itu kepada Schiff pada awal pekan lalu. Namun tim Schiff merespon dengan mengatakan hanya akan mewawancara Assange jika dia berada dalam penahanan Amerika Serikat.
Sebelumnya pada awal tahun ini, Partai Republik yang mengendalikan parlemen Amerika Serikat, menutup investigasi dugaan keterlibatan Rusia dalam pemilu presiden Amerika Serikat yang menguntungkan Presiden Donald Trump. Namun sampai sekarang belum ada bukti atas tuduhan itu. Partai Demokrat yang merupakan minoritas dalam pemerintah Amerika Serikat memutuskan untuk tetap melanjutkan investigasi tersebut.
Selama masa kampanye pemilu presiden 2016, WikiLeaks telah mempublikasi ribuan surat-surat elektronik tim kampanye calon presiden, Hillary Clinton, dan Komite Nasional Partai Demokrat sehingga kebocoran dukumen ini merugikan mereka. Beberapa agen intelijen Amerika Serikat mengklaim dokumen itu dicuri oleh peretas Rusia.