TEMPO.CO, Pyongyang – Pemerintah Korea Utara, yang dipimpin Kim Jong Un, menepati janjinya untuk menghancurkan situs uji coba bom nuklir Punggye-ri pada Kamis, 24 Mei 2018, sebagai langkah untuk menurunkan ketegangan di Semenanjung Korea.
Langkah ini dilakukan pasca pertemuan perdamaian dan denuklirisasi dengan Korea Selatan pada akhir April 2018. Kebijakan ini juga diambil menjelang pertemuan puncak Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, dengan pemimpin tertinggi Korea Utara, Kim Jong Un.
Baca: Trump Batalkan Pertemuan Puncak dengan Kim Jong Un, kenapa?
Media dari Korea Selatan, yang ikut diundang bersama sejumlah media dari sejumlah negara seperti AS, Inggris, Cina dan Rusia, melaporkan jalannya proses penghancuran ini. Otoritas Korea Utara sempat menanyakan kepada jurnalis yang diundang apakah mereka siap merekam video proses peledakan situs itu. Lalu, petugas lalu menghitung mundur.
“Sebuah bom besar meledak dan mengguncang Gunung Mantap, tanah dan batu menyembur keluar dari pintu masuk lokasi uji coba,” begitu dilansir Reuters, Kamis, 24 Mei 2018.
Baca: Kim Jong Un Takut Dikudeta saat Temui Donald Trump di Singapura
Rezim Korea Utara menggunakan situs uji coba Punggye-ri ini untuk melakukan enam kali uji coba nuklir. Situs ini memiliki sedikitnya tiga terowongan untuk kepentingan peledakan bom. Lokasi uji coba ini terletak di timur laut Korea Utara.
Seorang tentara Korea Utara sedang menjelaskan kepada para jurnalis proses penghancuran situs uji coba nuklir Punggye-ri di Gunung Mantap, Kamis, 24 Mei 2018. Yonhap via Korea Herald
Proses peledakan ini berlangsung pada pukul sebelas siang dengan penghancuran sebuah terowongan dan pos pemantauan.
Penghancuran ini dilakukan terhadap ketiga terowongan uji coba peledakan bom nuklir dan fasilitas pendukungnya. Pada sekitar pukul empat sore, dua barak militer di lokasi ikut dihancurkan.
“Penghentian uji coba nukir merupakan proses penting untuk perlucutan senjata nuklir internasional,” begitu pernyataan dari sebuah institut riset senjata nuklir Korea Utara seperti dilansir Korea Times. “Pyongyang akan melakukan upaya untuk mencapai perdamaian dunia tanpa senjata nuklir.”
Menanggapi ini, juru bicara kementerian Luar Negeri Korea Selatan, Noh Kyu-duk, mengatakan,”Pemerintah mengevaluasi penutupan situs uji coba nuklir itu sebagai langkah penting pertama untuk menunjukkan determinasi Korea Utara menyelesaikan proses denuklirisasi penuh.”
Kesepakatan denuklirisasi ini tercapai pada pertemuan bersejarah Kim Jong Un dengan Presiden Korea Selatan, Moon Jae-in, pada akhir April 2018. Seperti dilansir Korea Herald, pertemuan ini berlangsung di desan Panmunjom di Zona Demiliterisasi pada sisi Korea Selatan.
Saat itu, kedua pemimpin juga menyepakati perdamaian dan dituangkan dalam Deklarasi Panmunjom. Ini mengakhirin perang, yang sempat terjadi antara kedua negara pada era 1950an. Perang ini sendiri baru dinyatakan secara resmi berakhir hingga kesepakatan kedua Korea kemarin.
Korea Utara memilih menghancurkan lokasi uji coba bom nuklir Punggye-ri setelah mendapat sanksi ekonomi dunia internasional. Rezim diktator Kim Jong Un berharap penghancuran situs uji coba nuklir ini akan dibalas dengan pencabutan sanksi ekonomi oleh PBB. Rezim ini berharap Korea Utara akan menjadi negara besar dengan ekonomi yang berkembang dan terlibat perdamaian dengan negara tetangganya.
Pemimpin tertinggi Korea Utara, Kim Jong Un, dan Presiden AS, Donald Trump. Yonhap via Korea Herald
Pertemuan puncak Trump dan Kim pada 12 Juni 2018 nanti, yang kemudian tertunda, sebelumnya sempat terancam batal karena adanya protes keras Korea Utara soal latihan militer AS dan Korea Selatan di Semenanjung Korea. Negara komunis itu juga mengecam adanya opsi Libya yang disebut oleh penasehat keamanan nasional AS, John Bolton.
Lewat media KCNA, rezim Kim meminta jaminan keamanan dari upaya AS agar tidak menggulingkannya. Soal ini. Trump telah menyatakan secara terbuka memberikan jaminan keamanan bagi rezim Kim Jong Un dan kesejahteraan bagi Korea Utara.
Ketegangan antara AS dan Korea Utara kembali terjadi ketika Wakil Menteri Korea Utara, Choe Son Hui, mengecam Wakil Presiden AS, Mike Pence, sebagai seorang politikus amatiran. Ini karena Pence membandingkan Korea Utara dengan Libya.
“Kami tidak akan memohon kepada AS untuk berdialog atau bersusah payah membujuk mereka jika mereka tidak ingin duduk bersama kami,” kata Choe, yang diduga mewakili ucapan Kim Jong Un. Saat ini, Cina dan Korea Selatan sedang berupaya membujuk AS dan Korea Utara untuk melanjutkan proses denuklirisasi dan perdamaian secara penuh.