TEMPO.CO, Seoul – Wakil Menteri Luar Negeri Korea Utara, Kim Kye Gwan, mengatakan negara itu masih terbuka untuk menyelesaikan sejumlah isu dengan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, kapanpun dan dengan mekanisme apapun.
Pernyataan ini disampaikan setelah Presiden AS, Donald Trump, tiba-tiba membatalkan konferensi tingkat tinggi atau pertemuan puncak 12 Juni 2018 dengan pemimpin Korea Utara, Kim Jong Un, di Singapura.
Baca: Kim Jong Un Ancam Batalkan Pertemuan, Trump : Kami Masih ...
“Kami menghargai dengan tinggi upaya Presiden Trump, yang belum pernah dilakukan Presiden lainnya, untuk menciptakan pertemuan puncak Korea Utara – AS,” kata Kim Kye seperti dilansir kantor berita Korea Utara KCNA dan dikutip Straits Times, Jumat, 25 Mei 2018.
Presiden Korea Selatan, Moon Jae-in, memeluk pemimpin Korea Utara, Kim Jong Un, usai penandatangan kesepakatan di Rumah Perdamaian di desa Panmunjom di zona gencatan senjata, 27 April 2018. (Korea Summit Press Pool via AP)
“Kami sudah sampaikan kepada pemerintah AS sekali lagi bahwa kami terbuka untuk menyelesaikan masalah-masalah yang ada kapanpun dan dengan cara apapun.”
Baca: Bertemu Kim Jong Un 12 Juni di Singapura, Trump: Perdamaian Dunia
KCNA melaporkan keputusan Trump untuk membatalkan pertemuan itu secara sepihak tidak sejalan dengan keinginan dunia. Media yang dikontrol pemerintah Korea Utara itu juga menyebut Kim Jong Un telah membuat upaya maksimal untuk menggelar pertemuan puncak dengan Trump.
Seperti dilansir Reuters, Trump membatalkan pertemuan dengan Kim secara tiba-tiba dengan mengirim surat, yang dipublikasikan Gedung Putih. Trump mengatakan kemarahan besar dan sikap bermusuhan yang ditunjukan baru-baru ini oleh Korea Utara membuat pelaksanaan pertemuan puncak itu tidak tepat untuk dilaksanakan sesuai rencana.
“Ini adalah sebuah kemunduran besar bagi Korea Utara dan dunia,” kata Trump. Namun, dia berharap masih bisa bertemu dengan Kim pada waktu berikutnya.
Baru-baru ini, rezim Korea Utara memprotes keras latihan perang AS dan Korea Selatan yang disebut Max Thunder dan berlangsung dua pekan hingga 25 Mei 2018. Negara komunis ini juga mengecam keras pernyataan penasehat keamanan nasional AS, John Bolton, dan Wakil Presiden AS, Mike Pence, yang menyebut ada opsi Libya jika Korea Utara tidak melanjutkan pertemuan dengan Trump.
Opsi Libya mengacu kepada proses penghentian program nuklir negara itu pada 2000 an. Saat itu, Libya menghentikan program nuklir dengan imbalan sanksi ekonomi dibuka. Namun, beberapa tahun kemudian, Moammar Ghaddafi, pemimpin Libya, tewas terbunuh dalam Pertempuan Sirte oleh pasukan milisi Libya dukungan militer AS dalam sebuah pemberontakan.
Pertemuan puncak Trump dan Kim ini merupakan lanjutan dari pertemuan puncak sebelumnya antara Presiden Korea Utara, Moon Jae-in, dan Kim Jong Un di desa Panmunjom, Zona Demiliterisasi, di Korea Selatan pada akhir April 2018.
Kim dan Moon menyepakati kesepakatan damai antara kedua negara dan denuklirisasi Semenanjung Korea dalam kesepakatan yang tertuan dalam Deklarasi Panmunjom. Kedua negara juga menjalin kerja sama ekonomi dan membuka hubungan di berbagai bidang seperti budaya. Pertemuan dengan Trump diharapkan bisa menyelesaikan masalah nuklir Korea Utara secara final dan membangun perdamaian dunia.