TEMPO.CO, Jakarta - Masyarakat Irak untuk pertama kalinya menyelenggarakan pemilu parlemen pada Sabtu, 12 Mei 2018, sejak negara itu mendeklarasikan kemenangannya mengalahkan kelompok radikal Negara Islam Irak dan Suriah atau ISIS. Pemilu ini diharapkan bisa menjadi sebuah jalan bagi Perdana Menteri Irak, Haider al-Abadi, untuk memperpanjang masa jabatannya dan janjinya yang ingin pemeluk Islam Sunni Irak lebih inklusif.
Baca: Irak Tangkap 5 Pentolan ISIS Paling Dicari
Tentara Irak memberikan suara saat pemilihan umum di Baghdad, Irak, 10 Mei 2018. REUTERS/Thaeir al-Sudani
Baca: Irak Tangkap 4 Pemimpin Top ISIS Hidup-hidup Lewat Telegram
Dikutip dari situs english.alarabiya.net pada Sabtu, 12 Mei 2018, tempat-tempat pemungutan suara dibuka sejak pukul 7 pagi sampai pukul 6 sore. Total ada 329 kursi parlemen yang diperebutkan dengan total sebanyak 7.000 kandidat. Mereka yang maju berasal dari puluhan aliansi politik di penjuru Irak.
Tindak kejahatan korupsi yang telah mengakar di Negeri 1001 malam itu, serta pengaruh Iran dan status pasukan militer Amerika Serikat yang sampai sekarang masih bercokol di Irak merupakan masalah-masalah yang mendominasi dalam pelaksanaan pemilu parlemen ini.
Aliansi-aliansi partai berkuasa Irak diprediksikan akan memenangkan pemilu parlemen ini dengan menguasai kursi mayoritas. Partai-partai yang sama telah mendominasi panggung politik Irak sejak 2003. Perdana Menteri Al-Abadi sendiri sekarang ini berupaya mempertahankan posisinya, namun saat yang sama menghadapi ketatnya persaingan, terutama dari Nouri al-Maliki dan kandidat-kandidat dari aliansi Fatah yang sebagian besar pasukan bersenjata syiah.
Dalam politik Irak, ada banyak sekali aliansi-aliansi politik yang maju dalam pemilu parlemen ini. Dengan begitu, tidak ada satu kelompok pun yang mampu memenangkan 165 kursi, sebuah syarat yang dibutuhkan untuk menguasai suara mayoritas. Sebaliknya, aliansi-aliansi politik yang memenangkan suara parlemen terbanyak akan berkoalisi untuk membentuk sebuah suara mayoritas dengan meminta dukungan dari aliansi-aliansi partai kecil.
Setelah penyelenggaraan pemilu parlemen ini, masyarakat Irak diperkirakan akan memilih Perdana Menteri yang baru dalam beberapa bulan kemudian dan kemungkinan hasilnya akan membuat partai-partai politik meributkan kepentingan mereka. Hal ini pula yang terjadi dalam pemerintah Irak saat ini sehingga membuat pemerintah Irak sulit meloloskan undang-undang. Hingga Perdana Menteri Irak yang baru terpilih, Al-Abadi akan tetap memegang tampuk kekuasaan Irak.