TEMPO.CO, Jakarta - Para aktivis dan pengacara di Inggris meluncurkan sebuah kampanye untuk mengadili para pelaku kejahatan perang terhadap penduduk etnis minoritas Rohingnya di negara bagian Rakhine, Myanmar. Para aktivis dan pengacara itu sepakat membuat kelompok bernama Keadilan bagi Minoritas Rohingya atau JFRM dan meluncurkan kampanye tersebut pada sebuah seremoni di kantor pusat Amnersti Internasional di Ibu Kota London, Rabu, 9 Mei 2018.
Abdulla Faliq, Kepala Eksekutif JFRM, seperti dikuti dari Aljazeera.com pada Jumat 11 Mei 2018, mengatakan kampanye ini semata ditujukan untuk mencari keadilan bagi hampir 700.000 penduduk minoritas Rohingya yang melarikan diri ke Bangladesh pada tahun lalu menyusul brutalnya tindakan yang dilakukan militer Myanmar. Kampanye ini akan mendesak percepatan proses hukum dan mendesak pemerintah Inggris agar ikut menekan Myanmar. Bukan hanya itu, kampanye ini juga untuk mendorong Myanmar agar merepatriasi para pengungsi suku Rohingya dengan kewarganegaraan penuh.
Kelompok JFRM menyatakan akan mengumpulkan bukti-bukti terjadinya tindakan kriminal terhadap penduduk etnis minoritas Rohingya dan mengambil langkah-langkah untuk mengadili pihak-pihak yang bersalah. JFRM terdiri dari pengacara, akademisi dan ahli hukum.
Baca: Investigasi Reuters: Cerita Pembantaian 10 Muslim Rohingya
Imigran Rohingya yang ditemukan terdampar diistirahatkan di Sanggar Kegiatan Belajar (SKB), Bireuen, Aceh, 20 April 2018. Sebanyak 76 warga Rohingya menaiki perahu kayu bermesin lima GT untuk mencari suaka. ANTARA/Rahmad
Baca Juga:
Baca: Myanmar Undang Jurnalis ke Rakhine, Ini Temuan Aneh Soal Rohingya
Sebelumnya, PBB telah menyebut militer Myanmar telah melakukan tindakan menyerang atau pembersihan etnis terhadap suku minoritas Rohingya pada Agustus 2017. Sedangkan kelompok-kelompok HAM mengatakan pembunuhan, perkosaan dan pembakaran adalah kejahatan perang.
Myanmar menyangkal segala tuduhan itu. Sebaliknya, pemerintah Myanmar mengatakan pihaknya telah melakukan tindakan proporsional setelah meletupnya serangan di pos perbatasan oleh militan bersenjata Rohingya. Namun pernyataan Myanmar itu disangsikan banyak pihak karena Myanmar memblokade tim penyidik PBB untuk masuk ke lokasi kejadian.