TEMPO.CO, Kabul - Puluhan wanita Afganistan menunjukan kemampuan mereka sebagai pengembang game digital setelah mengunggah lebih dari 20 game di toko aplikasi digital pada 2018.
Lebih dari 20 wanita muda di Kota Herat, yang merupakan kota ketiga terbesar di Afganistan, memantapkan diri mereka sebagai ahli komputer, membangun aplikasi dan situs web serta melacak bug dalam kode komputer.
Baca: Jusuf Kalla Groundbreaking Klinik Indonesia di Afghanistan
Ini seperti tim siswi Afganistan yang menjadi terkenal pada tahun lalu ketika berkompetisi dalam perlombaan robot di Amerika Serikat. Para pengkode menunjukkan bakat yang menjanjikan ketika gadis-gadis Afghanistan diberi kesempatan.
"Coders dapat bekerja dari rumah dan dalam proses ini para wanita sedang membangun jalur karier baru untuk diri mereka sendiri dan untuk generasi berikutnya," kata Hasib Rasa, manajer proyek Code to Inspire, yang mengajarkan siswa perempuan yang menulis kode di Kota Herat.
Baca: Taiban ditawari menjadi partai politik dan ikut pemilu Afghanistan
Salah satu permainan yang diciptakan para gadis dari negara yang masih dilanda konflik itu adalah Game 2D "Fight Against Opium". Game itu adalah penafsiran animasi dari misi yang dilakukan tentara Afganistan untuk menghancurkan ladang opium, melawan penguasa obat bius dan membantu petani beralih menjadi petani kunyit, yang mulai berkembang.
Sejumlah perempuan di Kota Herat, Afghanistan, berlajar menulis kode digital untuk membuat game digital moderen. Daily Times.
Afganistan adalah sumber opium terbesar di dunia, selain juga menjadi negara pengekspor tumbuhan saffron, yang merupakan rempah paling mahal di dunia. Saffron telah lama didorong sebagai alternatif bagi petani agar beralih dari membudidayakan tanaman untuk membuat heroin.
Khatira Mohammadi, seorang mahasiswa yang membantu mengembangkan permainan anti-opium, mengatakan dia ingin menunjukkan kompleksitas masalah narkoba dengan cara yang paling sederhana.
"Kami telah mengilustrasikan masalah utama negara kami melalui sebuah pertandingan," kata Mohammadi, seperti dilansir The Star pada 8 Mei 2018.
Di institut itu, lebih dari 90 gadis dan wanita muda, mengenakan jilbab dan mantel hitam panjang, berlatih menulis kode komputer dan pengembangan perangkat lunak. Ini sebuah profesi yang dilihat oleh beberapa orang dari kalangan konservatif di Afganistan sebagai tidak cocok untuk wanita.
Masyarakat Afganistan belum terbiasa melihat perempuan bekerja di luar rumah. Mereka yang melakukannya, kebanyakan adalah guru, perawat, dokter, bidan dan pembantu rumah tangga.
Setelah penggulingan kelompok Taliban pada 2001, perempuan mendapatkan kembali kebebasan untuk bekerja di kantor dengan rekan pria. Akan tetapi ada sebagian yang menganggap bekerja sebagai pengembang perangkat lunak sebagai langkah terlalu jauh.
Hasib Rasa mengatakan para gadis diarahkan untuk menjadi pengembang game digital dan mendesain karakter pemain asli, gol, dan rintangan yang mencerminkan etos Afganistan. Kursus ini secara eksklusif ditujukan untuk wanita Afghanistan berusia 15 hingga 25 tahun, yang kesulitan melanjutkan pendidikan di bangku kuliah karena kurangnya dana atau berasal dari keluarga di mana mereka dicegah untuk mendaftar di sekolah pendidikan bersama.