TEMPO.CO, Jakarta - Rakyat Tunisia mencoblos kandidat kepala daerah mereka dalam pemilihan kepala daerah pada Minggu 6 Mei 2018, untuk pertama kalinya sejak revolusi Arab Spring pada 2011.
Dikutip dari Aljazeera, 7 Mei 2018, pemilihan kepala daerah ini menjadi langkah penting awal demokrasi di Tunisia.
Partai Ennahda memperoleh mayoritas suara dalam pemilihan ini dengan perolehan 27,5 persen disusul Partai Nidaa Tounes yang memperoleh 22,5 persen.
Total ada 57 ribu lebih calon kepala daerah untuk 350 daerah pemilihan, dan separuh kandidat diisi kaum perempuan dan generasi muda. Hasil pilkada akan diumumkan pada 9 Mei.
Namun rendahnya partisipasi rakyat mewarnai pilkada pertama sejak revolusi Arab Spring. Hanya 21 persen pendaftar yang mencoblos. Presiden Tunisia, Caid Essebsi, menyebut ini sebagai golput besar-besaran.
Baca: Pertama Kali, Tunisia Izinkan Militer Ikut Pemilu
Rached Ghannouchi, Ketua Partai Ennahda, usai mencoblos di tempat pemungutan suara di Tunis, Tunisia, dalam pemilihan kepala daerah, 6 Mei 2018. [Reuters]
Konstitusi Baru Sebelum Pilkada
Pemerintah Tunisia telah mengadopsi konstitusi baru pada 1 Mei sebelum pemilihan digelar.
"Pemerintahan daerah diberikan kewenangan lebih besar. Ini mungkin menjadi hukum penting setelah perubahan konstitusi. Ini sepenuhnya akan mengubah model pengembangan baru di Tunisia. Ini adalah proses desentralisasi," ujar Menteri Kedaerahaan dan Lingkungan Tunisia, Riadh Mouakher.
Baca: Demo Ekstrem Kembali Landa Tunisia, 300 Ditangkap
Sebelum revolusi, Tunisia di bawah pemerintahan Zine El Abidine Ben Ali, menganut sistem sentralisasi yang memberikan kewenangan kecil kepada pemerintah daerah. Konstitusi baru ini adalah salah satu tuntutan revolusi Arab Spring.
Meskipun pemilihan presiden dan pilkada telah digelar sejak 2011, namun pemilihan kepala daerah ditunda empat kali terkendala logistik, masalah administrasi dan politik.
Setelah pemilihan kepala daerah, Tunisia akan menggelar pemilihan legislatif dan presiden pada 2019.