TEMPO.CO, Jakarta - Rencana pertemuan trilateral ulama tiga negara pada 11 Mei 2018 diharapkan menjadi babak baru bagi Afganistan. Negara itu telah di kecamuk konflik keamanan dengan kelompok garis keras taliban, lebih dari 40 tahun lalu dan sampai sekarang masih belum ada solusi untuk itu.
“Pertemuan ini akan menjadi pertemuan pertama dan kami berharap ini menjadi pembuka pintu gerbang bagi diskusi lebih lanjut,” kata Fazal Ghani Kakar, Direktur Manajer lembaga pendidikan Noor dan pengembangan kapasitas, Afganistan, Kamis, 3 Mei 2018.
Baca: Afganistan, Kawasan Mengerikan bagi Jurnalis
Pusat pendaftaran pemilih yang diserang oleh seorang pembom bunuh diri di Kabul, Afganistan, 22 April 2018. Afganistan mendapatkan serangan mematikan berkali-kali dalam beberapa hari ini menjelang pemilihan Dewan Distrik yang akan digelar pada 20 Oktober 2018. AP/Rahmat Gul
Baca: Amerika Serikat Kutuk Serangan di Afganistan, 9 Wartawan Tewas
Menurut Kakar, tawaran pemerintah Afganistan agar taliban masuk dalam partai politik bisa berdampak positif. Sebab taliban sekarang ini diterpecah-belah dalam beberapa fraksi. Ada beberapa fraksi yang tertarik bergabung di pemerintahan dan proses politik di Afganistan.
Dia sangat yakin militan taliban tahu bahwa masyarakat dan fraksi-fraksi Afganistan sudah lelah dengan konflik ini. Peperangan panjang ini telah membawa dampak pada seluruh pihak. Namun meski melancarkan serangan dan teror, kelompok radikal taliban dikatakan Kakar masih mendengarkan suara-suara masyarakat dan pemerintah Afganistan.
“Kelompok taliban ingin secara keseluruhan memiliki negara dan mengatur Afganistan di tangan mereka, dimana keinginan ini mustahil karena pemerintah Afganistan sudah berdiri, ada kepolisian, ada militer dan ada banyak institusi sudah berjalan baik. Yang pemerintah Afganistan bisa tawarkan hanya militan taliban boleh menjadi bagian dari pemerintahan, tidak lebih dari itu,” ujarnya.
Konflik keamanan di Afganistan memburuk karena negara itu menghadapi sebuah proxy war. Kekuatan taliban seperti tak ada habisnya karena kelompok garis keras itu diduga kuat mendapat ‘dukungan’ dari kawasan dan negara-negara tetangga.