TEMPO.CO, Jakarta - Presiden otoritas Palestina, Mahmoud Abbas memecat tokoh kristen ortodoks Yerusalem, Atallah Hanna dari Dewan Nasional Palestina. Menurut pengamat politik Timur Tengah, langkah itu dibuat demi menghindari kegagalan dalam negosiasi dengan Donald Trump dan Israel.
Baca: Mahmoud Abbas Potong Gaji Tahanan Palestina di Penjara Israel
Analis politik Lebanon, Nidal al-Sabea, mengatakan pada Minggu, 22 April 2018, Abbas khawatir keberadaan Hanna, Uskup Ortodoks Yunani Sebastia, akan mengganggu negosiasi penting yang disebut kesepakatan abad ini.
Kesepakatan itu akan dibuat setelah pertemuan Dewan Nasional Palestina dalam waktu dekat. Hanna sendiri diyakini bisa terpilih sebagai presiden dewan yang bertugas menegosiasikan kemerdekaan Palestina.
"Uskup Agung Atallah Hanna tidak akan pernah menerima kesepakatan abad ini. Dia dianggap Abbas terlalu keras pada masalah Yerusalem dan pengungsi Palestina," kata al Sabea, seperti dilansir Middle East Monitor pada 24 April 2018.
Hanna selama ini diketahui sebagai orang yang paling keras menolak klaim Israel dan Trump pada Yerusalem dan tidak pernah mau bernegosiasi. Sikap anti-Trump dan Israelnya itu dianggap bisa menyulitkan proses negosiasi.
Al Sabea juga mengkritisi desakan Abbas untuk mengadakan pertemuan dengan Dewan Nasional Palestina di Ramallah. Menurutnya akan menjadi pukulan bagi persatuan Palestina karena tidak menyertakan beberapa faksi penting dalam perjuangan kemerdekaan Palestina.
"Ketiadaan Hamas, Jihad Islam dan boikot oleh Front Populer untuk Pembebasan Palestina, anggota independen di pertemuan menunjukkan bahwa Dewan tidak memenuhi syarat konsensus nasional," kata al Sabea.
Baca: Palestina Ubah Istana Kepresidenan Menjadi Perpustakaan
Al Sabea mengkritik monopoli Otoritas Palestina atau PLO pimpinan Abbas dalam pengambilan keputusan, termasuk proses menunjuk anggota Dewan nasional tanpa menetapkan kriteria khusus. Menurutnya hal itu merupakan pelanggaran mencolok dari proses demokrasi.
Untuk itu al-Sabea menyarankan agar Liga Arab dapat mengintervensi dan menghentikan krisis dan menyerukan kepada faksi-faksi Palestina dan tokoh-tokoh nasional yang independen untuk menyelenggarakan konferensi di Mesir. Konferensi itu diyakini akan menghasilkan visi baru yang membawa Palestina kembali ke tempat yang selayaknya.