TEMPO.CO, Jakarta - Perdana Menteri Armenia yang baru, Serzh Sargsyan, mengundurkan diri setelah unjuk rasa selama 11 hari mengguncang Armenia menentang pemerintahannya. Pengunduran diri Sargsyan itu hanya berselang sepekan setelah penunjukan dirinya sebagai Perdana Menteri Armenia pada 17 April 2018.
Sargsyan sebelumnya menjabat sebagai Presiden Armenia sejak 2008. Gelombang aksi protes menentangnya dimulai pada 13 April 2018 saat Sargsyan memutuskan mundur sebagai Presiden Armenia, tetapi menominasikan diri sebagai Perdana Menteri. Keputusan ini dipandang sebagai upaya Sargsyan untuk tetap berada dalam kekuasaan menyusul amandemen konstitusi baru telah memindahkan beberapa kekuasaan presiden ke perdana menteri.
Baca: Ke Monumen Genosida, Paus Serukan Armenia-Turki Rekonsiliasi
Seorang pemuda mengibarkan bendera saat berunjuk rasa di Yerevan, Armenia, 23 Juni 2015. Sekitar 5.000 demonstran berkumpul di dekat kantor presiden menolak kenaikan harga listrik. AP/Hrant Khachatryan
Situs al-Jazeera melansir pada Senin, 23 April 2018, ratusan aparat militer anti-pemerintahan bergabung dengan para demonstran di Ibu Kota Yerevan, Armenia. Mereka menuding Perdana Menteri Sargsyan telah terlibat tindak kejahatan korupsi dan telah memerintah secara otoriter.
Baca: Armenia Kirim Bantuan Kemanusiaan ke Suriah
“Saya memohon kepada seluruh masyarakat Republik Armenia dan kepada gerakan ‘tolak Serge’, Nikol Pashinyan benar dan saya salah. Situasi ini membutuhkan solusi, tetapi saya tidak berpartisipasi. Saya meninggalkan posisi Perdana Menteri di negara ini. Gerakan-gerakan di jalan-jalan menentang pemerintahan saya dan saya penuhi klaim Anda,” demikian pernyataan Sargsyan, Senin, 23 April 2018.
Sebelumnya pada Minggu, 22 April 2018, Ketua unjuk rasa anti-pemerintah, Nikol Pashinyan, ditahan. Akan tetapi, dia dibebaskan pada Senin pagi, 23 April 2018. Sargsyan dipilih menjadi Perdana Menteri Armenia pada April 2018 setelah 10 tahun menjabat sebagai Presiden.