TEMPO.CO, Jakarta - Aksi solidaritas dunia untuk korban pelecehan seksual yang menggunakan tagar #MeToo mulai merambah ke Jepang setelah adanya pejabat negara itu yang terseret tuduhan melakukan pelecehan seksual.
Tanda-tanda demam #MeToo merambah Jepang setelah pejabat di Kementerian Keuangan negara itu, Junichi Fukuda, dituding melakukan pelecehan seksual terhadap sejumlah jurnalis wanita. Tuduhan pertama kali dilaporkan pekan lalu oleh sebuah majalah yang merilis audio yang diduga percakapan antara Fukuda dan korbannya.
Baca: MeeToo Kampanyekan Kekerasan Seksual di New York Fashion Week
Rekaman audio itu, seperti dilansir Straitstimes, berbunyi,”Saya akan ikat tangan Anda. Boleh saya sentuh payudara Anda?” Dia melanjutkan,”Bisakah kita memiliki hubungan setelah bujet ini disetujui.”
Fukuda juga dilaporkan oleh sejumlah perempuan mengatakan ingin mencium dan membawa mereka ke hotel.
#MeToo. adage.com
Soal ini, Fukuda berkomentar,”Saya tidak berbicara seperti itu kepada jurnalis perempuan.” Dia menambahkan,”Saya tidak ingat jika saya membuat pernyataan yang melecehkan yang akan membuat mereka merasa tersinggung.”
Meski membantahnya, Fukuda memilih mengundurkan diri karena skandal itu membuatnya tidak dapat melakukan pekerjaannya, dan mengancam akan menuntut majalah itu.
Kisah ini telah mendominasi berita utama di dalam negeri, sebuah perkembangan yang menurut beberapa ahli merupakan pertanda gerakan #MeToo akhirnya masuk ke Jepang.
"Gerakan #MeToo global mendorong wanita korban pelecehan untuk berbicara, memberi mereka rasa keyakinan bahwa mereka tidak harus mentolerirnya," kata Sumire Hamada dari Pusat Sumber Daya Wanita Asia-Jepang, sebuah kelompok Hak Asasi Manusia.
Seperti dilansir The Star pada 21 April 2018, Hamada berharap kasus Fukuda akan memberikan keberanian kepada wanita lain yang menjadi korban pelecehan untuk membuka mulut.
#MeToo dimulai di Amerika Serikat dan kini tersebar hampir di seluruh dunia, termasuk Asia Timur.
Gerakan internasional melawan serangan seksual dan pelecehan ini telah meruntuhkan para tokoh terkenal di industri film, bintang media dan tokoh politik di seluruh dunia, bahkan di Asia Timur yang cenderung patriarkal.
Di Cina, kementerian pendidikan telah menyatakan kebijakan "tidak ada toleransi" terhadap pelecehan, dan di Korea Selatan mantan kandidat presiden sekarang menghadapi tuduhan melakukan perkosaan.
Namun di Jepang, dengan sikap gendernya yang tertanam kuat dan memiliki catatan terburuk dunia tentang representasi politik perempuan, #MeToo masih dibatasi hingga sekarang.
Kasus ini mendapat tanggapan dari aktivis feminis Jepang. “Saya harap kasus ini tidak menciptakan tekanan buruk bagi perempuan yang berbicara ke publik dengan identitas yang terungkap,” kata Chizuko Ueno, seorang sosiologis feminis dan profesor emiritus dari University of Tokyo seperti dilansir Japan Today.
Ada 25 ribu orang menandatangani petisi MeToo meminta pemerintah melindungi wanita korban pelecehan. “Ini adalah kasus yang sangat kritis,” kata Mari Miura, seorang profesor bidang ilmu politik di Sophia University di Tokyo.