TEMPO.CO, Jakarta - Pemimpin oposisi Kamboja yang diasingkan, Sam Rainsy memprediksi situasi di Kamboja akan penuh dengan ketidakpastian. Proyeksi itu disampaikan menyusul semakin dekatnya penyelenggaraan pemilu Kamboja pada 29 Juli 2018 tanpa kehadiran partai oposisi.
Dia menceritakan, sejak oposisi bangkit pada 25 tahun silam, posisi oposisi Kamboja sudah semakin kuat. Puncaknya pada pemilu 2008, partai Penyelamat Kamboja Nasional atau CNRP meraih 26 kursi parlemen dan 3 kursi diperoleh oleh partai oposisi lainnya. Namun pemerintah Kamboja melalui kekuasaannya membubarkan oposisi.
“Ini perubahan besar dalam peta politik Kamboja, namun mereka (pemerintah Kamboja) terus mengkriminalisasi saya. Mereka selalu berupaya mengeluarkan saya. Aneh melakukan pemilu tanpa partai oposisi. Oposisi dipenggal, tetapi semangat kami masih hidup. Kami menginginkan pemerintah Kamboja melakukan rehabilitasi dan mengizinkan partai-partai oposisi berpartisipasi dalam pemilu,” kata Rainsy, dalam kunjungannya ke kantor Tempo di Jakarta, Senin, 16 April 2018.
Baca: Oposisi Kamboja Sam Rainsy Minta Dukungan Jepang
Mantan Pemimpin Oposisi Kamboja, Sam Rainsy, saat kunjungan ke kantor Tempo di Palmerah, Jakarta Barat, 16 April 2018. TEMPO/Fajar Januarta
Baca: 30 Tahun Berkuasa di Kamboja, Hun Sen Ingin Lanjut 10 Tahun Lagi
Selain Rainsy, saat ini ada sekitar 118 politisi oposisi yang telah dilarang oleh pemerintahan Perdana Menteri Hun Sen melakukan aktivitas politik selama lima tahun. Larangan itu diterbitkan tanpa alasan.
Perdana Menteri Hun Sen sudah berkuasa di Kamboja lebih dari 3 dekade. Saat ini dia berusia 65 tahun dan bertekad akan berkuasa di Kamboja sampai usianya 90 tahun. Rainsy menyebut sebagian besar akar permasalahan pemberontakan yang terjadi di negara-negara Timur Tengah adalah karena pemimpin yang diktator, bukan demokrasi. Ini pula yang terjadi di Suriah dan Libya.