TEMPO.CO, Washington – Duta Besar Rusia untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Vassily Nebenzia, mengatakan tidak bisa mengesampingkan terjadinya perang terbuka Rusia dengan Amerika Serikat.
Nebenzia mendesak AS dan sejumlah negara Barat lain untuk menahan diri tidak melakukan serangan terhadap Suriah. Rusia merupakan sekutu terbesar Suriah bersama Iran dalam perang yang telah terjadi sejak 2011.
Baca: Petinggi Militer Rusia dan Nato Sepakat Bertemu Bahas Suriah
“Prioritas utama adalah menghindari terjadinya perang,” kata Nebenzia kepada pers, Kamis, 12 April 2018. “Kami berharap tidak kebablasan.”
Anak-anak warga negara Suriah menerima perawatan medis setelah pasukan rezim Assad diduga melakukan serangan gas beracun ke kota Duma, Ghouta Timur di Damaskus, Suriah, 7 April 2018. Setidaknya 41 orang, termasuk anak-anak, diyakini tewas dalam serangan tersebut. Halil el-Abdullah/Anadolu
Nebenzia mengatakan ini pasca-ancaman terbuka Presiden AS Donald Trump untuk melakukan serangan rudal terhadap rezim Presiden Suriah Bashar al-Assad. Ini terjadi pasca-serangan senjata kimia di Kota Douma, yang diduga dilakukan pasukan Suriah pada akhir pekan lalu.
Baca: Inggris dan Rusia Minta Investigasi Serangan Kimia di Suriah
Saat ini, tim ahli dari lembaga pemantau senjata kimia (OPCW) sedang menuju Suriah. Mereka segera melakukan investigasi soal dugaan serangan senjata kimia klorin pada Sabtu, 14 April 2018.
Soal ini, Menteri Pertahanan AS James Mattis menuturkan pemerintah AS belum memutuskan melakukan serangan militer terhadap rezim Assad.
“Saya tidak ingin bicara soal serangan spesifik yang belum pasti. Ini namanya mendului,” ujar Mattis kepada Komite Pertahanan DPR AS, Kamis, 12 April 2018.
Militer Israel merilis foto udara markas T-4 pangkalan udara Suriah pasca penyerangan Februari 2018. IDF Spokesperson’s Unit
Rusia, Suriah, dan Iran menuding serangan senjata kimia itu dilakukan kelompok pemberontak sebagai pemicu serangan AS terhadap rezim Suriah.
Sedangkan Prancis dan Inggris menyatakan ada indikasi kuat serangan senjata kimia berupa gas klorin dilakukan rezim Presiden Bashar al-Assad. “Sangat mungkin rezim itu bertanggung jawab atas serangan pada Sabtu pekan lalu,” bunyi pernyataan juru bicara Downing Street pascarapat kabinet Perdana Menteri Inggris Theresa May dengan kabinet.
Sedangkan Presiden Prancis Emmanuel Macron mengatakan dalam sebuah wawancara, “Kami punya buktinya bahwa serangan senjata kimia pada pekan lalu menggunakan gas klorin dan itu dilakukan rezim Assad.”
Pemerintah Suriah dan Rusia menuding kabar serangan senjata kimia itu sebagai berita bohong. Belakangan, mereka menyalahkan serangan itu kepada kelompok anti-Assad untuk membuat pemerintah Suriah terlihat bersalah dan menjadi serangan militer AS.