TEMPO.CO, Jakarta - Partai-partai politik Timor Leste mulai berkampanye untuk pemilihan parlemen baru pada Mei 2018. Mereka mengumbar janji untuk meningkatkan pembangunan di salah satu negara termiskin di Asia ini.
Tokoh kemerdekaan, Xanana Gusmao, yang memimpin aliansi tiga partai oposisi, mendesak warga Timor Leste memilih partai yang jelas ingin memperkuat dan meningkatkan kesejahteraan negara.
Baca: ASEAN Bahas Keanggotaan Timor Leste Desember Ini
"Kami datang untuk membawa pembangunan agar membebaskan semua orang dari kemiskinan," kata Gusmao, sperti dilansir ABC News pada 10 April 2018.
Timor Leste, yang sebelumnya bernama Timor Timur, seperti dilansir Reuters, berpisah dari Indonesia setelah jajak pendapat pada 1999, yang digelar Perserikatan Bangsa-Bangsa dimenangkan kelompok kemerdekaan. Sebelumnya, Timor merupakan bekas koloni Portugis.
Baca: Presiden Timor Leste Bubarkan Parlemen, Ini Pemicunya
Sekretaris Jenderal Partai Fretilin, Mari Alkatiri, juga bersumpah akan lebih banyak pembangunan jika partainya memenangkan pemilu.
Pemilihan Mei dilakukan setelah Presiden Francisco Guterres atau disapa Lu Olo membubarkan parlemen dan mengadakan pemilihan legislatif baru. Ini dilakukan untuk mengakhiri kebuntuan politik yang berkepanjangan di negara kecil itu sejak pemilihan Presiden pada 2017.
Sebelumnya, pemerintahan minoritas di bawah Perdana Menteri Mari Alkatiri dibentuk setelah pemilihan presiden Juli 2017. Namun pemerintah belum bisa mendorong reformasi yang sangat dibutuhkan dan membuat keputusan soal cara melakukan diversifikasi ekonomi dan meningkatkan produksi energi yang lesu.
Anggaran rancangan pemerintah ditolak oleh parlemen pada Desember 2017. Itu yang kedua kalinya anggaran pembangunan pemerintah ditolak setelah Oktober lalu.
Keputusan Lu Olo mendapat dukungan dua partai terbesar di parlemen, Fretilin, yang memimpin pemerintah minoritas, dan Kongres Nasional untuk partai Rekonstruksi Timor Leste atau CNRT.
Saat ini, negara berpenduduk 1,3 juta jiwa ini masih menghadapi kemiskinan. Para pemimpin berfokus pada proyek infrastruktur untuk mengembangkan ekonomi.
Pemilihan parlemen dan Presiden Timor Leste, yang diselenggarakan tahun lalu adalah yang pertama tanpa pengawasan PBB, sejak pasukan penjaga perdamaian meninggalkan negara itu pada 2012.