TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Rodrigo Duterte mengatakan jika ada hal buruk yang menimpanya , maka Badan Intelijen Pusat Amerika Serikat atau CIA adalah yang paling pertama harus dicurigai.
Pernyataan yang disampaikan saat berpidato di Istana Malacanang, Manila pada Kamis, 5 April 2018, dibuat Duterte untuk mengecam pemerintah AS karena menghentikan rencana penjualan senjata api ke Filipina karena masalah hak asasi manusia.
Baca: CIA Berencana Bunuh Presiden Duterte
Situasi itu membuat Duterte harus beralih dari sekutu utama Filipina itu kepada Cina dan Rusia untuk mendapatkan senjata. Menurutnya, kedua negara ini memberinya senjata api secara gratis dan tidak meminta apa pun untuk ditukarkan, bahkan tidak ada perjanjian aliansi militer.
“Itu pengalaman saya. Saya berbagi dengan Anda. Setidaknya, jika pesawat saya meledak atau bom di pinggir jalan meledak, Anda bisa tanyakan ke CIA, ”kata Duterte dalam pernyataan kontroversial terbarunya kepada Amerika Serikat.
Baca Juga:
Baca: Presiden Rodrigo Duterte: Saya Undur Diri 2020, Saya Sudah Tua
Dia juga mengatakan orang-orang Amerika benar-benar tidak menghormati janji dan komitmennya.
Itu bukan pertama kalinya presiden Filipina tersebut menuduh CIA merencanakan pembunuhan terhadapnya.
Pada 2016, ia mengatakan kepada sekelompok orang Filipina di Vietnam bahwa ia menerima laporan tentang dugaan CIA berencana untuk membunuhnya. Pada 2017, dia juga mengatakan, jika dia dibunuh maka itu perbuatan CIA.
Baca: Rodrigo Duterte Larang Wartawan Rappler Meliput, Ini Pemicunya
Duterte juga mengklaim CIA harus disalahkan atas serangan 2015 yang gagal terhadap seorang pemimpin Muslim bersenjata yang menyebabkan 44 anggota unit polisi elit tewas.
Pada Februari lalu, Duterte juga mengklaim bahwa CIA mendanai situs berita yang berbasis di Manila, Rappler.
Duta besar AS untuk Filipina, Sung Kim, membantah bahwa pemerintahnya sedang mencoba untuk merusak pemerintahan Filipina. Tetapi laporan CIA 2018 menyebutkan Rodrigo Duterte sebagai ancaman di Asia Tenggara.