TEMPO.CO, Jakarta - Malaysia menyetujui rancangan undang-undang atau RUU anti-berita bohong, Senin, 2 April 2018. Melalui RUU ini, maka mereka yang membuat dan menyebarkan berita bohong terancam hukuman maksimal 6 tahun penjara dan denda 500 ringgit atau setara Rp.1,8 miliar.
Pengesahan RUU anti-berita bohong oleh Malaysia ini, mendapat sorotan dari PBB. Utusan khusus PBB untuk bidang kebebasan berpendapat dan berekspresi, David Kaye, mendesak pemerintah Malaysia agar tidak terburu-buru melegislasi RUU ini ke parlemen.
“Saya mendesak pemerintah untuk mempertimbangkan kembali rancangan undang-undang ini dan membukanya untuk pengawasan publik sebelum mengambil langkah lebih jauh,” kata Kaye.
Baca: Jelang Pemilu, Malaysia Ajukan RUU Ancaman Penyebar Berita Bohong
PM Malaysia Najib Razak. AP/Vincent Thian
Baca : Pemerintah Malaysia Bantah Soal RUU Anti-Berita Bohong
Dikutip dari Reuters, RUU anti-berita bohong ini telah mengundang kritik, yang menyebut RUU ini ditujukan untuk membatasi kebebasan berpendapat jelang diselenggarakannya pemilu. Namun Malaysia segera menegaskan RUU itu tidak akan melanggar kebebasan berpendapat dan kasus-kasus terkait hal ini akan ditangani melalui sebuah proses pengadilan independen.
“Aturan hukum ini ditujukan untuk melindungi publik dari penyebaran berita bohong, namun tetap mengizinkan kebebasan berpendapat di bawah konstitusi,” kata Menteri Hukum Malaysia, Azalina Othman, Senin, 2 April 2018.
Di bawah RUU anti-berita bohong, maka berita palsu diidentifikasikan sebagai berita, informasi, data dan laporan yang sebagian atau secara keseluruhan, salah. Berita bohong bisa berupa features, visuals dan rekaman suara. RUU anti-berita bohong ini juga berlaku bagi berita-berita palsu yang dipublikasi lewat media digital dan sosial media.
Hukuman pada rancangan undang-undang ini berlaku bagi para penyebar berita bohong di Malaysia dan di luar negeri, termasuk warga negara asing jika Malaysia atau seorang warga negara Malaysia terkena dampak berita bohong itu.