TEMPO.CO, Jakarta - Gedung Putih telah menginstruksikan Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat membekukan lebih dari US$ 200 juta atau sekitar Rp 2,7 triliun dana bantuan untuk membantu upaya pemulihan Suriah. Pernyataan itu merupakan buntut dari keputusan Amerika menarik diri dari perang Suriah.
Perintah pembekuan dana bantuan untuk Suriah dilontarkan hanya berselang sehari setelah Presiden Donald Trump dalam sebuah pidatonya di Ohio pada Kamis, 29 Maret 2018, mendeklarasikan akan menarik diri dari perang Suriah secepatnya.
Dikutip dari www.english.alarabiya.net pada Sabtu, 31 Maret 2018, sumber di pemerintah Amerika mengatakan Trump tidak salah ucap dalam pidatonya. Namun Trump sudah beberapa Minggu menentang gagasan komitmen jangka panjang atau jangka menengah Amerika untuk menstabilkan wilayah timur Suriah.
Baca: Amerika Serikat Tarik Tentara dari Suriah, Milisi SDF Tak Tahu
Warga berjalan di dekat reruntuhan gedung-gedung di Aleppo, Suriah, 20 Januari 2017. Minggu ini merupakan tahun ketujuh Suriah dilanda peperangan dan kehancuran. Ribuan orang meninggal dunia serta anak-anak kehilangan orang tua, sekolah, tempat tinggal, hingga waktu kecilnya yang seharusnya diisi dengan bermain dan senang-senang. (AP Photo/Hassan Ammar, File)
Adapun Wall Street Journal mewartakan Presiden Trump menyerukan pembekuan anggaran dana bantuan bagi Suriah setelah membaca sebuah laporan berita yang menyebut Amerika telah berkomitmen mendanai proses pemulihan Suriah, sebuah negara yang remuk akibat perang sipil selama lebih dari tujuh tahun.
Dalam pidatonya di Ohio, Amerika, Kamis lalu, Trump telah memberikan sinyalemen untuk menurunkan intensitas keberadaan negaranya dalam perang melawan kelompok Negara Islam Irak dan Suriah atau ISIS. Dia ingin keterlibatan Amerika di Suriah sewajarnya.
“Kami akan keluar dari Suriah, sepertinya secepatnya. Biar orang lain mengurusnya,” kata Trump tanpa merinci siapa yang harus mengurus Suriah.
Baca: Assad: merika Serikat dan Turki Keluar dari Suriah
Amerika Serikat menempatkan lebih dari 2.000 personel militer di wilayah timur Suriah sebagai bagian dari upaya internasional untuk menumpas ISIS, sebuah organisasi garis keras yang menguasai wilayah Suriah dan Irak.