TEMPO.CO, Solo -Mimpi RM Hendromartono untuk meneruskan jejak orang tuanya bekerja di perusahaan minyak, kian mendekati kenyataan. Hendro terpilih menjadi salah satu pelajar yang mendapat beasiswa dari Sukarno untuk kuliah di Azerbaijan.
Apalagi, dia mendapatkan sebuah kampus di kawasan Azerbaijan, salah satu penghasil minyak yang menjadi bagian dari Uni Sovyet. Ada puluhan mahasiswa asal Indonesia lainnya yang datang berkuliah di tempat itu secara bergelombang.
Gejolak politik di Indonesia sekitar tahun 1965 membuyarkan harapan Hendro dan kawan-kawannya. Mereka tidak berani pulang ke negara asalnya. "Kami memilih tetap tinggal di Azerbaijan daripada pulang lalu ditangkap," katanya saat ditemui di Solo, Kamis 22 Maret 2018.
Baca: EKSKLUSIF: Hendromartono, Setengah Abad Jadi Eksil di Azerbaijan
Kala itu memang santer kabar banyak mahasiswa peraih beasiswa yang ditangkap saat pulang ke Indonesia karena dianggap 'orangnya Sukarno'. "Terutama yang kuliah di negara-negara komunis," kata Hendro.
Setelah lulus kuliah sekitar 1967, Hendro memilih mencari pekerjaan di kawasan penghasil minyak itu. Dia diterima sebagai tenaga peneliti di kampusnya. "Kadang-kadang juga mengajar Bahasa Indonesia," katanya.
Sedangkan teman-temannya kebanyakan memilih pindah dari negara itu setelah lulus kuliah. "Kebanyakan memilih pergi menuju Eropa," tutur Hendro. Kebanyakan dari mereka berharap bisa pulang dengan lebih aman ke Indonesia jika sebelumnya menetap di negara-negara yang bukan penganut paham komunis.
Baca: Ini Kerinduan Para Eksil Tragedi 1965 di HUT RI ke-70
Kondisi itu membuat Hendro sempat merasa kesepian. Dia hanya tinggal di Azerbaijan bersama dua kawannya sesama WNI yang masih bertahan. "Bahkan hingga saat ini salah satunya tetap tinggal di Azarbeijan," kata Hendro.
Untungnya, negara pecahan Sovyet itu tidak pernah membeda-bedakan kewarganegaraan masyarakat yang tinggal di sana. Hendro mendapat perlakuan sama seperti warna negara aslinya, kecuali dalam hal hak politik.
Dia bahkan juga menemukan pendamping hidupnya di negara itu. Hendro menikah dengan wanita asal Slaviyan, Rusia bernama Gricinina Antonina Mixailovna pada 1966. Dari pernikahan tersebut, mereka dikaruniai dua orang putri. Kesibukannya bekerja dan mengurus keluarga mampu mengusir kesepian yang dialaminya.
Baca: Para Eksil Tragedi 1965 Rayakan HUT RI ke-70 di Belanda
Barulah saat kekuasaan Orde Baru tumbang, Hendro berani kembali berkunjung ke Indonesia. Dia bisa kembali mendapatkan kewarganegaraan setelah pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan Undang Undang nomor 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan. Lantas, pada 2012, barulah Hendromartono terbang dari Azerbaijan untuk menetap di kampungnya, Joyontakan.