TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah Amerika Serikat menyatakan 9 mahasiswa asal Iran terlibat upaya pencurian siber besar-besaran, yang disponsori negara itu, untuk mengambil data dari ratusan universitas, perusahaan dan lembaga pemerintah di Amerika Serikat dan berbagai negara.
Pada Jumat, 23 Maret 2018, pemerintah federal AS mengumumkan para tersangka berafiliasi dengan sebuah perusahaan bernama Mabna Institute, yang berbasis di Iran. Mereka diduga menyerang sistem komputer Departemen Tenaga Kerja AS, Komisi Pengaturan Energi Federal, PBB dan negara bagian Hawaii dan Indiana.
Baca: Putra Mahkota Arab Saudi dan Trump Akan Bicarakan Soal Iran
"Informasi yang dicuri termasuk penelitian akademis dalam teknologi, kedokteran, dan ilmu lain, bernilai US $ 3,4 miliar," begitu pernyataan pihak berwenang seperti dilansir media Haaretz, Jumat, 23 Maret 2018.
Baca: Amerika Serikat Ancam Perang, Rusia Veto Resolusi PBB Atas Iran
Baca Juga:
Wakil Jaksa Agung Rod Rosenstein mengatakan para tersangka diduga mencuri lebih dari 31 terabyte data, sekitar 15 miliar halaman dari 140 universitas Amerika, 30 perusahaan AS dan lima lembaga pemerintah, sementara menargetkan 176 universitas di luar negeri. Serangan itu dilakukan sejak 2013.
Setidaknya ada 100.000 alamat email profesor universitas dan peneliti yang menjadi sasaran, dan sekitar 8.000 diantaranya telah dijebol. Sebanyak 320 universitas di dunia dikabarkan menjadi target dari serangan siber ini, seperti dilansir media Zdnet.
Menurut Rosenstein para tersangka beraksi atas pemerintah Iran melalui pasukan khusus Korps Garda Revolusi Iran.
"Untuk banyak gangguan ini, para terdakwa bertindak atas perintah pemerintah Iran dan, khususnya, Korps Garda Revolusi Iran," kata Rosenstein, seoerti dilansir Reuters pada 24 Maret 2018.
Rosenstein menambahkan kemungkinan kesembilan tersangka kini masih berada di Iran. Itu di luar jangkauan langsung otoritas AS, namun pengenaan sanksi ini akan membatasi para tersangka untuk bebas bergerak serta untuk melakukan bisnis ke berbagai negara.
"Dengan mengungkap aktivitas jahat Institut Mabna, maka ini akan membuat mereka lebih sulit untuk melakukan bisnis," kata Rosenstein.
Jaksa AS, Geoffrey Berman, menandai serangan siber terkoordinasi itu sebagai "salah satu upaya peretasan terbesar yang disponsori negara yang pernah dituntut." Dia menambahkan 9 orang Iran itu dianggap sebagai buronan dan akan menghadapi ekstradisi di lebih dari 100 negara jika mereka bepergian ke luar Iran.
"Para peretas menargetkan inovasi dan kekayaan intelektual dari ide-ide terbesar negara kita," kata Berman. "Para terdakwa ini sekarang buron dari peradilan Amerika, tidak lagi bebas bepergian ke luar Iran tanpa risiko ditangkap."
Jaksa menegaskan Mabna Institute, yang didirikan pada 2013, berfungsi sebagai kontraktor bagi pemerintah Iran dengan misi khusus untuk mencuri penelitian berharga dan informasi kepemilikan lainnya, beberapa di antaranya dijual di Iran.
Lembaga itu mempekerjakan tentara siber bayaran, peretas untuk disewakan, dan yang lainnya untuk melakukan gangguan di dunia maya.
Selama empat tahun, data akademik dan kekayaan intelektual dicuri dari sistem universitas di seluruh dunia.
Para tersangka diduga menggunakan mandat curian untuk mendapatkan akses ke akun para profesor untuk mencuri jurnal akademik, tesis, disertasi dan buku elektronik.
"Para terdakwa menargetkan data di semua bidang penelitian dan disiplin akademis, termasuk ilmu pengetahuan dan teknologi, teknik, ilmu sosial, medis dan bidang profesional lainnya," kata jaksa, menambahkan data itu kemudian dipindahkan ke server yang dikendalikan oleh para tersangka.
Sembilan tersangka, yang usianya berkisar antara 24 hingga 39 tahun, dituduh melakukan konspirasi, gangguan komputer yang tidak sah, penipuan kawat dan pencurian identitas.
Pengumuman pemerintah AS itu muncul disaat hubungan dengan Iran berada ddi titik terawan setelah pemerintahan Donald Trump mengindikasikan niatnya untuk meninggalkan perjanjian nuklir dengan Iran, yang merupakah kesepakatan yang dibuat pemerintah Obama.
Trump, yang pada Kamis lalu mengangkat John Bolton sebagai penasehat militer dan merupakan penentang kuat dari perjanjian nuklir, mengisyaratkan sikap Amerika, yang lebih agresif terhadap Iran.