TEMPO.CO, Jakarta - Hidup di negeri rantau dengan keterbatasan bukan hal sulit dijalani oleh Antoni Tsaputra, seorang penyandang disabilitas asal Sumatera Barat. Hal itu dilakoninya saat mendapatkan beasiswa S2 dari pemerintah Australia melalui Australia Award.
Kepada Tempo pada Selasa, 20 Maret 2018, Antoni menceritakan pertama kali tiba di Australia pada 2010, ketika itu dia diterima kuliah di Griffith University di Brisbane, Australia, bidang Journalism and Mass Communication.
Sama seperti teman-teman penerima beasiswa pada umumnya, ada perasaan kagum dan haru menyelimuti pedalaman hatinya ketika untuk pertama kali tiba di Negeri Kangguru, sebuah negara yang sudah maju.
“Di Australia, ada berbagai kemudahan yang bisa saya nikmati, tetapi juga sedikit gegar budaya dan homesick tentunya,” kata Antoni.
Baca: Apindo: Serapan Tenaga Kerja Penyandang Disabilitas Masih Rendah
Pada akhirnya lebih dari 10 orang penyandang disabilitas harus menyerah pada kondisi trotoar yang sangat tidak ramah bagi mereka saat menyusuri trotoar kota di program Bandung Barrier Free Tourism.
Baca: Anies Baswedan Janjikan Penyandang Disabilitas Jadi Pegawai DKI
Namun demikian, Antoni mengaku tak sulit menyesuaikan diri karena dibantu oleh teman-teman Indonesia di Australia dan warga Australia yang menjadi sahabat dekat. Ketika sudah menikah, Antoni banyak dibantu oleh istri untuk makan, minum dan aktivitas lainnya.
Reaksi masyarakat Australia dan masyarakat negara lain yang ada di Australia, sangat beragam. Namun sebagian besar memberikan reaksi positif. Ada yang menyatakan salut atas tekadnya, termasuk saat dia melanjutkan sekolah ke jenjang S3 yang sangat berat, tetapi ada yang tersadar bahwa penyandang disabilitas dari Indonesia banyak yang bisa sekolah tinggi, sedangkan di beberapa negara Timur Tengah misalnya masih sulit penyandang disabilitas mengakses pendidikan.
“Dari cerita teman-teman difabel di Australia, pola pikir sebagian masyarakat masih menjadi masalah dimana disability masih dilihat sebagai inability. Bedanya, menurut saya teman-teman difabel di Australia punya sumber-sumber dan support network yang lebih besar serta didukung dengan ketersediaan accessibility untuk gradually memperbaiki mindset tersebut,” kata Antoni.
Sementara di Indonesia, umumnya masyarakat Indonesia seringkali menyamakan difabel fisik, terutama yang berkursi roda, dengan orang yang sedang sakit. Sebagai contoh, setiap kali bepergianuntuk tujuan kerja dengan sebuah maskapai ternama di Indonesia, pramugari selalu bertanya ‘bapak lagi sakit dan mau berobatya?’.
Sejak kecil Antoni menderita physical impairment berat. Evaluasi medis mendiagnosanya memiliki muscular dystrophy. Yakni fungsi otot dan gerak menurun secara degenerative. Penyandang disabilitas ini hanya bisa menggerakkan kepala dan menggunakan tangan serta jari secara terbatas.