Menurut Darmansyah, berdasarkan UU No. 62/1958 tentang Keimigrasian, pihak Kedubes bisa mencabut paspor mereka. "Dalam UU dikatakan akan hilang kewarganegaraan Indonesia bila warga negara itu ikut bergabung dengan tentara negara lain (regular arm force). Jadi, kami berhak mencabut paspor mereka," katanya.
Secara resmi, yang tercatat di Kedubes RI di Islamabad, ibu kota Pakistan, hanya 70 orang. Mereka umumnya kuliah di International Islamic University (IIU), dan sebagian kecil di Al-Khair University. Umumnya para mahasiswa itu sudah pernah ikut latihan militer. "Kalau AS terus membombardir Afghanistan, mau enggak mau kami akan bangkit dan berjuang mengangkat senjata pergi berjihad," kata Abdul Halim, 24 tahun, mahasiswa Hubungan Internasional dan Politik IIU.
Namun, menurut Halim, kini mahasiswa Indonesia masih ragu-ragu, karena selain ada serangan dari AS, pemerintah Taliban terlibat perang dengan Aliansi Utara. "Kami nggak mau terlibat kalau mereka masih perang satu sama lain sesama muslim," katanya. Tak semua mahasiswa asal Indonesia seperti Halim. Kelompok mahasiswa Indonesia yang tergabung dalam Forum Ukhuwah Mahasiswa Indonesia (FUMI) justru ingin segera bergabung untuk melawan AS. "Memang, ada belasan orang di antara mahasiswa Indonesia itu yang radikal, tapi mereka masih dalam koridor dan batas yang wajar," ujar Darmansyah.
Soal 10 orang Indonesia yang ditemukan angkat senjata di dekat perbatasan, ternyata semuanya berasal dari madrasah di sekitar Peshawar. "Mereka umumnya tak melapor ke Kedutaan," kata Darmansyah. Menurut sumber TEMPO--seorang mahasiswa Indonesia di Al-Khair University yang tak mau disebut namanya--10 orang Indonesia itu masuk ke Pakistan lewat jalur jemaah tablig. "Jemaah tablig itu apolitis, tapi orang yang masuk madrasah itu berubah dari gerakan jemaah tablig yang sebenarnya," kata mahasiswa itu. (Ahmad Taufik)