TEMPO.CO, Jakarta - Rusia sangat yakin bahwa Barat berada di balik racun yang menghantam bekas agen rahasianya sehingga dia sekarat di Inggris. "Ada percobaan pembunuhan yang terjadi di negeri itu," kata pengamat.
Pernyataan Rusia itu untuk menepis tudingan Perdana Menteri Inggris, Theresa May, yang mengatakan pemerintah Rusia sangat mungkin terlibat dalam upaya pembunuhan Sergei Skripal, 66 tahun, menggunakan sejenis racun Novichok pada 4 Maret 2018.
Baca: Rusia Menolak Terlibat di Insiden Racun Agen Rahasia di Inggris
Petugas kepolisian bejaga-jaga di jalan dekat tempat tinggal Sergei Skripal dan putrinya di Salisbury, Inggris, 7 Maret 2018. REUTERS/Toby Melville
Menurut seorang pengamat politik di Moskow, Dmitri Babich, kepada Al Jazeera, Selasa, 13 Maret 2018, tudingan May membuat rakyat Rusia marah.
"Publik Rusia tidak percaya Presiden Vladimir Putin atau siapapun termasuk agen rahasia Rusia melakukan perbuatan itu, meracun seseorang di tempat umum dengan bahan yang sangat berbahaya," kata Babich.
Insiden racun yang menimpa Skripal, menurut Babich, sengaja dihembuskan oleh dinas rahasia Inggris dan Amerika Serikat agar Rusia tampak buruk.Asisten Komisaris Kepolisian Metropolitan, Mark Rowley bersama dengan Chief Medical Officer Sally Davies, memberi pernyataan pers mengenai Sergei Skripal dan putrinya Yulia yang diracuni di pusat Salisbury, Inggris, 7 Maret 2018. REUTERS/Henry Nicholls
Skripal dan putrinya Yulia, 33 tahun, ditemukan sekarat di sebuah bangku duduk di luar pusat perbelanjaan di Salisbury, selatan Inggris, Ahad 4 Maret 2018. Keduanya, saat ini, berjuang hidup di rumah sakit karena kondisinya sangat kritis.
Baca: Lagi, Warga Rusia Musuh Putin Ditemukan Tewas di Inggris
Laporan kantor berita TASS menyebutkan, Ketua Parlemen Rusia Vyacheslav Volodin, meminta pemerintah Inggris bertanggung jawab atas peristiwa yang menimpa Skripal dan putrinya.
"Perdana Menteri Theresa May canggung menuding keterlibatan Inggris dalam kejadian ini. Seluruh tanggung jawab harus dipikul Inggris atas kejadian terhadap bekas warga negara Rusia," kata Volodin kepada wartawan, Selasa, 13 Maret 2018.