TEMPO.CO, Jakarta - Tujuh tahun berlalu, Kana Fujimoto, 31 tahun, masih belum bisa menghapus kenangan wajah para korban gempa bumi di Fukushima, Jepang. Fujimoto diterjunkan menjadi relawan membantu para korban tidak lama setelah musibah terjadi.
“Ada seorang nenek, yang sangat murah hati. Senyumnya menghangatkan hati, kata-kata yang diucapkannya bijak bestari, yang membuat kita berfikir sejenak. Dia suka membagikan permen pada anak-anak yang hidupnya mendadak berbanding terbalik setelah diguncang gempa. Nenek itu sekarang sudah meninggal dunia,” kata Fujimoto, seperti dikutip dari Xinhua, Minggu 11 Maret 2018.
Baca: Gempa Goyang Jepang, Fukushima Aman
Warga berdoa ke arah laut untuk mendoakan korban tsunami pada 2011 dengan membawa sejumlah persembahan di Minamisoma, Prefektur Fukushima, Jepang, 11 Maret 2016. REUTERS/Kyodo
Pada 11 Maret 2011, PrefektureFukushima diguncang gempa bumi dan tsunami berkekuatan 6,9 skala richter. Korban tewas dan hilang sekitar 18.000 jiwa. Musibah ini memicu terjadinya bencana nuklir terburuk sejak bencana nuklir Chernobyl di Ukraina pada 1986.
Baca: Atasi Krisis Fukushima, Jepang Bangun Dinding Es
Tujuh tahun setelah musibah terjadi, sekitar 73.000 penduduk Fukushima dan area sekitarnya yang terkena dampak musibah, masih belum bisa kembali ke kampung halaman mereka. Dari jumlah itu, sebanyak 34.000 orang tak punya pilihan untuk tinggal di sekitar Fukushima karena wilayah itu terkontaminasi radioaktif, yang disebabkan rusak tiga reaktor inti yang ada di Fukushima.
Sulit mengukur dampak musibah ini karena tidak ada pathologi bagi kematian yang disebabkan oleh isolasi atau kematian karena kesepian. Cukup banyak penduduk manula Fukushima meninggal dunia karena kurangnya perawatan sosial dan hubungan dengan komunitas.
Mereka tidak punya pilihan selain meninggalkan rumah yang dibangun bersama anggota keluarga, meninggalkan bisnis perkebunan keluarga, tetangga. Tiba-tiba berada dalam tenda penampungan darurat, yang secara kejiwaan sangat merontokkan mental, pasca gempa Fukushima. Data statistik pada Desember 2017 dan Februari 2018, hanya 4 persen penduduk yang sudah bisa bangkit dari trauma dan rasa keterikatan batin dengan komunitas.