TEMPO.CO, Jakarta - Sri Lanka memberlakukan keadaan darurat selama sepuluh hari di seluruh negeri untuk mengendalikan terjadinya tindak kekerasan komunal. Ini merupakan pemberlakuan keadaan darurat nasional untuk pertama kalinya sejak era perang saudara.
"Kabinet telah memutuskan untuk mengambil langkah yang lebih menentukan, termasuk darurat sepuluh hari di seluruh negeri," kata Menteri Perencanaan Kota Rauff Hakeem, seperti dilansir Guardian pada 6 Maret 2018.
Baca: Jokowi: RI Siap Berpartisipasi Bangun Infrastruktur di Sri Lanka
Menurut dia, pihak berwenang menjalankan sebuah komando lengkap di Kandy, yang menjadi pusat kerusuhan.
Pemerintah juga mengirim polisi komando bersenjata lengkap ke wilayah yang menjadi obyek wisata itu setelah kerusuhan terus terjadi meski telah diberlakukan jam malam.
Baca: RI-Sri Lanka Berkomitmen Dorong Perdagangan dan Investasi
Serangan pembakaran dan kerusuhan telah melanda distrik pusat Kandy dalam beberapa hari terakhir. Tindak kekerasan serupa juga terjadi pada akhir Februari ketika massa membakar tempat usaha milik pengusaha muslim dan sebuah masjid.
Kekerasan di Kandy dipicu saat sekelompok pria muslim di Kota Digana dituduh membunuh seorang pria yang tergabung dalam komunitas Buddhis Sinhala.
Umat Islam menyumbang 10 persen dari 21 juta penduduk, dan umat Buddha Sinhala mencapai hampir 75 persen. Sebanyak 13 persen populasi lainnya beragama Hindu.
Pemberlakuan keadaan darurat memungkinkan pemerintah untuk menangkap tersangka dalam waktu yang lebih lama dan lebih mudah memindahkan pasukan kapan pun diperlukan.
Rumah-rumah muslim, pertokoan, dan masjid rusak parah dalam kerusuhan, yang dimulai setelah kematian orang Sinhala pada pekan lalu.
Polisi telah menahan lebih dari 20 orang dan mulai menyelidiki tindakan polisi di Kandy.
Ini adalah pertama kalinya dalam tujuh tahun Sri Lanka menerapkan keadaan darurat sejak pemberontakan Tamil Elam pada 2009.
Reuters melaporkan juru bicara pemerintah, Dayasiri Jayasekara, mengatakan pemerintah juga akan melakukan tindakan tegas terhadap pihak yang memicu kekerasan melalui Facebook.
Di masa lalu, tindak kekerasan antaragama dan etnis menjadi berbahaya di Sri Lanka.
Pada Juni 2014, sebuah kampanye anti-muslim diluncurkan menyusul kerusuhan yang mematikan.
Beberapa kelompok Buddha garis keras juga menuduh kelompok muslim memaksa orang masuk Islam dan merusak situs arkeologi.
Presiden Sri Lanka Maithripala Siresena berjanji menyelidiki kejahatan anti-muslim setelah mengambil alih kekuasaan pada 2015, tapi tidak ada kemajuan signifikan yang dilaporkan.