TEMPO.CO, Jakarta - Filipina mengizinkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melakukan investigasi dugaan pelanggaran hak asasi manusia atau HAM dalam operasi pemberangusan perdagangan narkoba yang digagas Presiden Rodrigo Duterte. Namun Filipina mengajukan syarat.
"Filipina menyambut investigasi yang dilakukan PBB dengan mengirim pelapor yang kredibel, obyektif, dan tidak bias, yang juga memiliki otoritas dalam bidang yang akan mereka investigasi," kata Harry Roque, juru bicara Presiden Duterte sekaligus seorang pengacara, seperti dikutip Reuters, 27 Februari 2018.Seorang pria, yang istrinya ditangkap saat operasi anti-narkoba dan ditemukan tewas sehari kemudian, tidur di kasur di samping keponakannya di luar gubuknya di Navotas, Metro Manila, Filipina, 6 Desember 2017. Gubuk-gubuk kumuh di kawasan yang lebih dikenal sebagai Market 3 ini menjadi saksi bisu perang berdarah terhadap narkoba yang diluncurkan Duterte sejak Juni 2016 lalu. REUTERS
Baca: Presiden Duterte Ingin Basmi Narkoba seperti Nazi Hitler
Filipina membuka pintunya bagi PBB menyelidiki dugaan pelanggaran HAM saat negara itu memberlakukan operasi pemberangusan perdagangan narkoba. Namun negara ini menolak jika PBB mengirim pelapor khusus untuk isu kejahatan kemanusiaan, Agnes Callamard, sebagai bagian dari investigasi tersebut.
"Jelas, bukan Agnes Callamard. Itu kesalahannya, sehingga negara ini tidak mau dia masuk," ujar Roque.
Baca: Bunuh Ribuan Orang dalam Perang Narkoba, Duterte Tetap Populer
Pada Mei tahun lalu, Callamard membuat pemerintah Filipina marah karena memberikan pernyataan tentang situasi Filipina dalam kapasitas tak resminya.
Presiden Duterte menantang Callamard melakukan debat publik sebagai syarat boleh masuk ke Filipina untuk melakukan investigasi tentang dugaan pelanggaran HAM terkait dengan operasi pemberangusan perdagangan narkoba.