TEMPO.CO, Jakarta - Pemilu legislatif Kamboja pada Minggu 25 Februari 2018 mengukuhkan kembali kekuasaan Perdana Menteri Hun Sen di Kamboja. Dengan begitu, Hun Sen sudah 33 tahun menjadi penguasa di negara yang dikenal pemberontakan Khmer Merah yang menewaskan 1,7 juta penduduk dalam hitungan bulan.
Hasil pemilu legislatif pada akhir pekan lalu, mengundang banyak kecaman dan kritikan kepada Hun Sen yang berambisi tetap menancapkan kukunya pada kekuasaan di tengah-tengah pertumpahan darah masyarakat Kamboja yang ingin keluar dari rezim tersebut dan masalah kemiskinan parah.
Baca: Hun Sen Berangus Oposisi, Jerman Hentikan Visa Khusus
Seu, bocah 13 tahun, mencari barang-barang bekas yang masih dapat digunakan di kawasan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di Siem Reap, Kamboja, 19 Maret 2015. Seu bekerja di kawasan kotor tersebut dibayar sebesar 25 sen dollar Amerika perharinya. REUTERS
Hun Sen menjadi orang nomor satu di Kamboja saat usia 33 tahun. Ketika itu, dia tercatat sebagai perdana menteri termuda di dunia.
Sayang, sejak memangku jabatan pula, Hun Sen telah mengkonsolidasikan kekuasaan dengan kekerasan dan mengintimidasi oposisi hingga menuai kritikan. Namun saat yang sama, dia pun menuai pujian karena telah menciptakan pertumbuhan ekonomi Kamboja dan stabilitas di negara yang pernah remuk di bawah rezim komunis Khmer Merah pada 1970-an.
Saat itu, sekitar 1,7 juta penduduk Kamboja meninggal karena kelaparan, terkena penyakit dan eksekusi mati oleh rezim Khmer Merah di bawah pimpinan Pol Pot. Di tengah segala penderitaan ini, Hun Sen berdiri bagai seorang pahlawan. Pernah dalam sebuah pidatonya, Hun Sen membanggakan prestasi yang dibuatnya.
“Jika seorang Hun Sen tidak punya keinginan untuk masuk ke gua harimau, bagaimana mungkin kita bisa menangkap harimau?,” katanya seperti dikutip dari The Guardian.
Baca: Partai Hun Sen Sapu Bersih Pemilu, Ini Seruan Oposisi Kamboja
Semakin bertambahnya waktu, keburukan lebih terdengar ketimbang prestasi pemerintah Hun Sen. Lembaga penggiat HAM, Human Rights Watch atau HRW, menuding Hun Sen telah melakukan pembunuhan, penyiksaan, penahanan, membuat kesimpulan persidangan, sensor, menerbitkan larangan di parlemen dan beberapa hal lainnya.
Terkait kampanye pemilu legislatif 25 Februari 2018, Hun Sen menutup surat kabar berbahasa Inggris, Cambodia Daily, pada September 2017 karena dalam editorial menyebut Hun Sen sebagai pemimpin diktator. Bukan hanya itu, sehari-hari Cambodia Daily juga acap kali mewartakan topik-topik sensitif seperti korupsi, masalah limbah, lingkungan hidup dan hak-hak penduduk atas lahan.
Sebuah lembaga transparansi menuding keluarga Hun Sen telah menguasai perekonomian Kamboja. Keluarganya memiliki sepenuhnya atau sebagian kendali pada perusahaan-perusahaan dengan modal lebih dari US$.200 juta, di antaranya Apple, Nokia, Visa, Unilever, Nestlé, Durex dan Honda .