TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Rodrigo Duterte, dikhawatirkan tidak akan langgeng menduduki posisi sebagai orang nomor satu di Filipina. Kekhawatiran itu terlihat dalam aksi mengenang tergulingnya mantan presiden Filipina yang juga dikenal sebagai diktator, Ferdinand Marcos pada 25 Februari 1986.
Baca: Rodrigo Duterte Minta Tentara Filipina Tembak Vagina Pemberontak
Pengacara Filipina Adukan Duterte ke Mahkamah Internasional
Lebih dari 1.000 orang pada hari Minggu 25 Februari 2018, turun ke jalan memperingati revolusi kekuatan rakyat pada 1986. Dalam aksi tersebut, mereka yang berkumpul mengecam Presiden Duterte, yang disebut sedang membangun sebuah pemerintahan diktator.
“Penting untuk berdiri melawan, khususnya sejak tahun lalu ketika kita menyaksikan pemerintah secara terang-terangan mengubah sejarah kita dengan mengubur diktator Marcos. Saat ini, kita melihat kecenderungan yang sama pada rezim sekarang,” kata seorang demonstran, Jason Del Rosario, seperti dikutip dari situs al-Jazeera, Minggu 25 Februari 2018.
Baca: Duterte Naik Pitam, Minta Imam Katolik Telan Sabu
Presiden Duterte yang mengklaim memiliki kedekatan dengan keluarga Marcos, tidak menampakkan batang hidungnya dalam aksi mengenang revolusi kekuatan rakyat. Dia hanya meninggalkan pesan ‘persatuan dan solidaritas’. Pada tahun lalu, Duterte juga absen dalam peringatan ini.
Presiden Rodrigo Duterte baru-baru ini menghadapi tuduhan telah melakukan tindak kejahatan kemanusiaan dari Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) terkait kebijakan perang melawan narkoba yang dijalankannya. Dalam kampanye itu, sekitar 20.000 orang tewas dalam penggerebekan yang dilakukan aparat kepolisian atau aksi main hakim sendiri.