TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah Indonesia masih mempertahankan Kedutaan Besar Indonesia (KBRI) di Damaskus, Suriah, meski perang saudara di negara itu belum menunjukkan tanda segera berakhir.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia, Arrmanatha Nasir, mengatakan salah satu alasan dipertahankannya kedubes di sana karena masih ada WNI yang tinggal di negara itu.
"Kami ingin pastikan WNI kita di sana mendapatkan perlindungan. Apabila KBRI di Suriah ditarik, akan lebih sulit lagi bagi kami memberikan perlindungan kepada mereka. Jadi, untuk sementara ini masih belum ada rencana menutup KBRI di Suriah," kata Arrmanatha kepada Tempo, Kamis, 22 Februari 2018 di kantor Kementerian Luar Negeri, Jakarta.
Pesawat Sukhoi 25 milik militer Rusia ditembak jatuh di Provinsi Idblib oleh pemberontak Suriah menggunakan rudal antipesawat terbang portabel MANPAD -- Reuters.
Dia menjelaskan sampai sekarang masih sulit melakukan evakuasi WNI di Suriah karena posisi mereka menyebar di beberapa tempat yang tidak diketahui. Dan, ada kecenderungan WNI biasanya baru bermunculan ke kantor kedubes saat tersandung masalah. Menyusul kondisi keamanan di Suriah saat ini, pemerintah Indonesia pun tidak banyak menempatkan staf KBRI di Damaskus, Suriah.
"Staf KBRI di Suriah tidak banyak, sekitar empat sampai lima orang, tetapi saya harus cek lagi," kata Arrmanatha.
Sementara itu Grata Endah Werdaningtyas, Direktur Keamanan Internasional dan Pelucutan Senjata Kementerian Luar Negeri, mengatakan pemerintah Indonesia memiliki alasan kuat menempatkan staf di KBRI Damaskus, Suriah. Kondisi Suriah, yang masih diselimuti perang, memang berbahaya tetapi Indonesia melihat adanya kepentingan lain.
"Masih cukup banyak WNI yang ada di Damaskus. Jadi keberadaan KBRI itu lebih ke arah untuk sebisa mungkin melakukan perlindungan atau jaminan kehadiran negara. Kalau misalnya WNI ada yang mengalami permasalahan, mereka harus kemana mengadu jika tidak ada KBRI di Suriah," kata Grata.
Disinggung soal posisi politik Indonesia dalam perang
Suriah, Grata menjelaskan Indonesia memiliki dua harapan. Pertama, pemerintah ingin forum multilateral digelar dan melibatkan seluruh pihak terkait dan diakui oleh PBB. Kedua, ada mediasi oleh pihak-pihak yang netral dan memahami permasalahan ini secara mendalam.