TEMPO.CO, Jakarta - Militer Brasil mengambil alih kendali keamanan di Rio de Janeiro di tengah meningkatnya gelombang kejahatan kejam yang menimpa peserta karnaval terkenal di kota itu.
Presiden Michel Temer mengumumkan pada Jumat, 16 Februari 2018 bahwa dia telah memerintahkan militer untuk mengendalikan keamanan publik di kota itu setelah terjadinya kekerasan terhadap wisatawan. Seperti ditayangkan di televisi, sejumlah wisatawan dikejar dan dipukuli oleh sekelompok perampok selama perayaan Parade Karnaval yang terkenal di kota itu.
Baca: Eks Presiden Brasil Dihukum 9 Tahun Penjara karena Korupsi
Intervensi militer, yang pertama kali dilakukan sejak berakhirnya kediktatoran militer Brasil pada 1988, akan berlaku sampai Desember. Kongres Brazil diperkirakan akan meratifikasi langkah ini awal pekan depan.
Baca: Presiden Brazil Didakwa Melakukan Praktik Korupsi
Dalam sebuah pidato di televisi, Temer memberi label intervensi itu sebuah "tindakan ekstrim", yang diperlukan untuk memberantas kejahatan terorganisir dan perdagangan narkoba, yang telah berkembang di kota berpenduduk 6,5 juta orang atau terbanyak kedua di negara itu.
"Cukup," katanya, seperti yang dilansir Washington Post pada 17 Februari 2018. "Kami tidak akan membiarkan mereka membunuh masa kini dan membunuh masa depan kita." Berita ini juga dilansir New York Times.
Setelah pengumuman itu, Menteri Kemanan negara bagian Rio de Jeneiro langsung mengundurkan diri. Jenderal Walter Souza Braga Netto, yang mengkoordinasikan keamanan di Rio selama Olimpiade 2016, akan memimpin intervensi itu.
Terkenal karena angka kriminalitasnya, Kota Rio mengalami jeda empat tahun dalam kasus pembunuhan pada awal dekade ini. Tapi belakangan, Brasil tenggelam dalam resesi terburuk dan ini membuat anggaran polisi kota mengering. Pengawasan terhadap daerah-daerah yang dulu rawan mengendur sehingga daerah-daerah ini kembali dikuasai kelompok-kelompok kartel.
Lonjakan kejahatan menimbulkan dampak serius bagi warga. Pada tahun lalu, pembunuhan, perampokan dan pencurian di kota telah melonjak ke tingkat yang tidak terlihat dalam 15 tahun. Hampir 400 sekolah membatalkan kelas pada berbagai waktu terakhir karena tindak kekerasan, dan 70 persen penduduk kota telah merencanakan untuk melarikan diri dari situasi itu.
Pada 2017, ada 6.731 kematian kekerasan di Rio, atau 40 per 100.000 penduduk, tingkat tertinggi dalam delapan tahun. Pembajakan, perampokan ponsel dan penculikan juga meningkat.
Kekacauan itu memuncak pada pekan ini ketika tembakan, serangan terhadap turis dan perampokan massal merusak acara terbesar di kota yaitu karnaval. Walikota Rio dan gubernur negara bagian dikritik secara luas karena melewatkan kota saat 6 juta orang berkumpul untuk pesta selama seminggu, yang telah menjadi identitas kota.
Menurut Robert Muggah, direktur Institut Igarapé, sebuah kelompok pemikir berbasis Rio yang mengkhususkan diri dalam masalah keamanan, kegagalan untuk mengembalikan keamanan publik sebagian disebabkan kurangnya kepemimpinan yang mendasar dari gubernur negara bagian dan walikota.
"Penanganan keamanan publik yang 'buruk' pada Karnaval tahun ini bergejala dalam pengabaian yang dalam dan sistematis. Mereka tidak menunjukkan minat untuk menanggapi dengan serius," katanya.
Keputusan untuk memberi kewenangan luas kepada militer untuk memulihkan ketertiban menempatkan pasukan polisi, yang memiliki kekurangan personil dan peralatan, di bawah komando Jenderal Walter Souza Braga Netto. Dia bertugas mengawasi operasi militer di bagian timur negara itu.
Bagi banyak orang, pengambilalihan militer membawa kembali pengingat kediktatoran Brasil, yang tidak diinginkan, saat terakhir kali militer bertanggung jawab atas operasi sehari-hari pasukan keamanan Rio.
Ini adalah intervensi federal pertama sejak kembalinya Brasil ke demokrasi pada tahun 1980an. Ini juga dianggap beberapa orang sebagai upaya Presiden, Michel Temer, untuk memperbaiki popularitasnya untuk mengatasi kejahatan.
Sementara rincian intervensi belum dilakukan, pemerintah berharap anggaran yang lebih besar dan akses terhadap sumber daya nasional akan membantu mengendalikan Rio de Jeneiro.
Persetujuan ini akan dikirim ke Kongres dan memerlukan persetujuan oleh mayoritas dalam waktu 10 hari sebelum dapat diimplementasikan.
Meski begitu, pemimpin militer Brasil telah menyatakan keprihatinan mendalam karena pemerintah federal telah semakin beralih ke angkatan bersenjata untuk memadamkan wabah kekerasan di seluruh negeri.
Jenderal Eduardo Villas Bôas, komandan tertinggi militer negara itu, mengatakan baru-baru ini bahwa angkatan bersenjata tidak dapat diharapkan untuk menyelesaikan sebuah krisis keamanan yang berakar pada masalah lama yang oleh badan pemerintah lainnya telah gagal untuk ditangani secara berarti.
"Memerangi kejahatan terorganisir memerlukan tindakan efektif oleh pemerintah di bidang ekonomi dan sosial, untuk membuat perdagangan narkoba kurang menarik di daerah di mana sebagian besar populasi bergulat dengan pengangguran," kata Jenderal Bôas menulis dalam sebuah email.
Rencana itu tidak berjalan di tengah korupsi yang meluas. Dan Brasil memasuki resesi panjang yang membuat negara bagian Rio de Janeiro bangkrut.
Jenderal Bôas juga memperingatkan mengerahkan personil militer secara permanen ke garis depan perang obat-obatan di Rio, Brasil, meningkatkan risiko penjahat bisa terlibat dalam kejahatan terorganisir.