TEMPO.CO, Jakarta - Duta Besar Indonesia untuk Arab Saudi, Agus Maftuh Abegebriel, mengklaim kantor Kedutaan Besar Republik Indonesia di Arab Saudi sebagai kantor perwakilan Indonesia di luar negeri tersibuk.
"Kami bekerja boleh dikatakan '26 jam' per hari. KBRI menerima berbagai macam pengaduan, sampai tenaga kerja yang ditinggal suaminya nikah lagi, juga mengadu pada kami," kata Agus kepada wartawan di Jakarta, Kamis, 13 Februari 2018.
Baca: Dubes Agus Maftuh Minta WNI Tak Terjebak Ideologi Kekerasan
Dubes RI untuk Arab Saudi, Agus Maftuh Abegebriel mendengarkan Tohirin bin Mustofa yang mengadukan nasib istrinya Nurnengsih binti Tasdik, yang saat itu masih dipenjara. Kedua suami-istri itu kini telah berhasil dibebaskan dari hukuman mati, 25 November 2016 . (Foto: KBRI Riyadh)
Agus menceritakan pihaknya mengurusi banyak hal, mulai dari upaya meningkatkan hubungan bilateral Indonesia-Arab Saudi di semua sektor, masalah tenaga kerja Indonesia di sana, kuota haji hingga bekerja seperti penagih utang. Yakni memburu para majikan yang lalai menjalankan kewajibannya terhadap para tenaga kerja Indonesia.
"Kami bahkan sering dikira agen tenaga kerja. Meskipun banyak yang diurus, tetapi kami berkomitmen melayani saudara-saudara kita di Arab Saudi dan berupaya menghadirkan negara di tengah-tengah mereka," kata Agus.Sebanyak 450 WNI dan TKI undocumented yang dipulangkan pemerintah Indonesia dari Arab Saudi melalui Kementerian Luar Negeri tiba di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, 11 November 2015. TEMPO/Marifka Wahyu Hidayat
Baca: Diplomasi Persahabatan Duta Besar RI untuk Arab Saudi
Dia menjelaskan, Kedutaan bekerja dengan semboyan 'satu tim satu mimpi'. Agus dan para stafnya pun berupaya optimal memberikan perlindungan terhadap warga negara Indonesia di sana, khususnya para tenaga kerja, yang lebih suka disebutnya sebagai saudara karena alasan demi mengangkat harkat dan martabat mereka.
Tugas paling berat disebut Agus, saat harus membebaskan para tenaga kerja Indonesia dari ancaman hukuman mati. Itu artinya, KBRI harus melakukan mediasi dan negosiasi dengan keluarga korban dan pemerintah Arab Saudi.
Tak hanya itu, KBRI pun harus menghadapi para makelar kasus, yang acap kali memanfaatkan uang diyat. "Ada yang pernah meminta uang diyat sampai Rp 120 miliar dan menjadi tugasnya menekan serendah mungkin uang diyat tersebut," ungkap Agus