TEMPO.CO, Jakarta -Presiden Maladewa, Abdulla Yameen mengumumkan status darurat selama 15 hari, setelah negara surga bagi pasangan untuk wisata honey moon itu tidak tunduk pada putusan Mahkamah Agung untuk membebaskan 9 tahanan politik.
Status negara dalam keadaan darurat disampaikan presiden Yameen, Senin, 5 Februari 2018, tepat sebelum pasukan bersenjata lengkap merengsek ke gedng Mahkamah Agung yang sedang bersidang dan aparat polisi menangkap mantan presiden, Maumoon Abdul Gayoom.
Baca: Dituding Terlibat Terorisme, Mantan Presiden Maladewa Dibui
Eks presiden ini diciduk dari rumahnya di Male, ibukota Maladewa, tengah malam kemarin. Ia yang kini berusia 80 tahun diduga berniat menjatuhkan pemerintahan Yameen lewat program reformasinya.
"Saya tidak melakukan apapun untuk masuk penjara. Saya desak anda untuk tetap tabah dalam mengatasinya juga. Kita tidak akan menyerah dalam melakukan reformasi yang kita sedang kerjakan," kata Gayoom dalam pesan tertulisnya kepada para pendukungnya melalui akun Twitter.
Krisis politik yang diwarnai dengan kerusuhan dipicu tindakan presiden menjebloskan ke penjara oposisinya sejak dia menjabat presiden tahun 2013.
Baca: Menteri-menteri Maladewa Rapat Kabinet di Dasar Laut
"Alasan pendeklarasian ini adalah Mahkamah Agung menghalangi kerja pemerintah," kata Azima Shukoor, pembantu presiden Yameen menjelaskan tentang Maladewa berstatus darurat militer.
Para hakim di Mahkamah Agung pun dituding bersekutu dengan oposisi lewat putusannya. Makanya Yameen menolak membebaskan 9 tahanan politik dan memulihkan kursi di parlemen untuk 12 legislator yang dipecat setelah menyeberang dari partai pendukung Yameen, sehingga partai oposisi menjadi mayoritas di parlemen.
Partai oposisi Maladewa berpotensi menggalang pemakzulan terhadap presiden Yameen. Polisi dan tentara pun diperintahkan untuk meredam upaya penangkapan atau pemakzulan Yameen. Mahkamah Agung pun diingkatkan untuk tunduk pada konstitusi.