TEMPO.CO, Jakarta -Krisis diplomatik Teluk yang melibatkan Qatar dan negara-negara tetangganya dilaporkan dipicu oleh persoalan wanita. Klaim ini diungkapkan Menteri Luar Negeri Qatar Mohammed bin Abdul Rahman al-Thani saat berbicara di televisi nasional Qatar.
Seperti dilansir Russia Today, Jumat 12 Januari 2018, al-Thani menyebut krisis berawal dari perselisihan mengenai seorang wanita yang memperbarui paspornya.
Ia mengatakan bahwa penolakan Qatar untuk mengekstradisi istri seorang tokoh oposisi Uni Emirat Arab menyebabkan negara itu melakukan sikap agresif dan melancarkan serangan di media.
Baca juga:
Arab Saudi cs Putuskan Hubungan Diplomatik, Qatar Murka
Wanita dan suaminya pindah ke Qatar setelah meninggalkan Uni Emirat Arab pada 2013. Sang suami kemudian pindah ke Inggris, tetapi wanita tersebut tinggal di Qatar karena enggan berpisah dengan keluarganya.
Ketika wanita itu mencoba memperbarui paspornya, kedutaan Uni Emirat Arab menolak dan menuntut pemerintah Qatar mengekstradisinya.
Menteri Al Thani mengatakan Putra Mahkota UEA, Sheikh Mohammed bin Zayed, mengirim utusan ke Emir Qatar, Sheikh Tamim bin Hamad Al Thani, untuk menuntut ekstradisi wanita tersebut. Sang Emir menolak permintaan tersebut.
"Pangeran Tamim menolak untuk mengekstradisi wanita tersebut karena perempuan itu tidak melakukan tindak pidana, dan ini akan bertentangan dengan hukum internasional serta Konstitusi Qatar," kata al-Thani.
Lebih dari enam bulan yang lalu tetangga Qatar, termasuk Uni Emirat Arab, Arab Saudi, Bahrain dan Mesir, memutus hubungan diplomatik dan memblokade tanah, laut dan udara.
Dua bulan sebelum krisis diplomatik meledak, Uni Emirat Arab meningkatkan serangan media terhadap tetangganya dan ketika Qatar mencari penjelasan atas serangan tersebut, klaim tersebut mengatakan bahwa jika wanita tersebut diserahkan, mereka akan berhenti. Namun Doha kembali menolak menyerahkan wanita tersebut.
Al Thani menjelaskan bahwa Uni Emirat Arab kemudian memberi penjelasan kepada Arab Saudi mengenai perselisihan tersebut.
Dalam pertemuan dengan Emir Qatar, Pangeran Mahkota Arab Saudi, Muhammad bin Nayef--yang sudah digulikan--mengatakan kepada pemimpin Qatar bahwa tidak akan ada perselisihan jika wanita tersebut diserahkan ke Uni Emirat Arab.