TEMPO.CO, Jakarta - Lebih dari 300 pengunjuk rasa ditangkap, dan tentara dikerahkan di beberapa kota di Tunisia setelah terjadi demonstrasi disertai kekerasan. Unjuk rasa di negara ini memasuki hari ketiga kendati ada ancaman tindak kekerasan dari petugas keamanan.
Pasukan dikirim ke Thala, di dekat perbatasan Aljazair, setelah pemrotes membakar gedung keamanan nasional dan memaksa polisi mundur dari kota.
Baca: Yerusalem, Tunisia Serukan Boikot Produk Amerika Serikat
"Sekitar 330 orang, yang terlibat dalam tindakan sabotase dan perampokan, ditangkap tadi malam," kata Khelifa Chibani, juru bicara Kementerian Dalam Negeri Tunisia, seperti dilansir Guardian pada 11 Januari 2018.
Baca: Tunisia Melarang Maskapai Emirat Terbang
Tentara juga dikerahkan ke beberapa kota lain, termasuk Sousse, Kebeli, dan Bizert, untuk melindungi bangunan pemerintah, yang telah menjadi sasaran pemrotes.
Protes anti-pemerintah berkecamuk di kota-kota di Tunisia sejak Senin, 8 Januari 2018, termasuk di resor wisata Sousse.
Penyebab langsung kerusuhan tersebut adalah harga yang dikenakan pemerintah serta kenaikan pajak, yang akan menaikkan biaya barang-barang dasar. Namun pemerintah beralasan hal itu penting untuk mengurangi defisit yang menggelembung serta memuaskan kreditur internasional.
Para pengunjuk rasa mengatakan faktor jangka panjang kebijakan itu mencakup tingkat kemiskinan dan tingkat pengangguran yang tinggi, terutama di kalangan lulusan baru universitas.
Meskipun Tunisia secara luas dipandang sebagai satu-satunya kisah sukses demokrasi di antara negara-negara semi Arab, negara ini telah memiliki sembilan pemerintahan sejak penggulingan pemimpin otoriter, Zine El Abidine Ben Ali.
Protes telah menjadi hal yang umum di Tunisia pada Januari, bertepatan dengan peringatan pemberontakan 2011, yang dipicu kematian Mohamed Bouazizi. Dia adalah seorang pedagang kaki lima, yang membakar diri sendiri dalam sebuah demonstrasi mengenai pengangguran dan tindak kekerasan oleh polisi.
Protes tahun ini telah dilakukan ratusan orang di setiap kota meski lebih kecil dari demonstrasi sebelumnya sejak 2011.
Pada Rabu, 10 Januari 2018, Perdana Menteri Youssef Chahed menuduh oposisi memicu perbedaan pendapat dengan meminta lebih banyak demonstrasi.
Chahed, yang mengepalai sebuah koalisi partai sekuler dan Islam, mengatakan 2018 akan menjadi tahun yang sulit bagi Tunisia. Namun dia menuturkan ekonomi akan membaik dengan cepat setelah kebijakan baru mulai berlaku.
Dari ratusan orang yang ditangkap pada Selasa, dua di antaranya disebut pemerintah sebagai aktivis radikal Islam dan telah membantu menyerbu sebuah kantor polisi di Kota Nefza. Di Tunis, kerumunan menyerang pusat perbelanjaan Carrefour.
Pada Selasa, bom bensin dilemparkan ke sebuah sekolah Yahudi di pulau wisata, Pulau Djerba selatan, Tunisia, tempat tinggal sebuah komunitas Yahudi kuno.
GUARDIAN