TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Perdana Menteri Sudan, Ahmed Bilal Osman, menepis anggapan bahwa negaranya akan melakukan normalisasi dengan Israel.
"Kami peringatkan agar tidak ada rencana membagi dan memerintah negara-negara di Timur Tengah," ucapnya seperti disampaikan kepada Middle East Monitor.
Baca: Amnesty: Sudan Selatan Bakar 2.000 Rumah Penduduk
Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh (LBBP) Designate Resident Republik Sudan saat akan mengikuti Upacara Penyerahan Surat-surat Kepercayaan Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh (LBBP) Designate Resident dan Designate Non Resident untuk Republik Indoneisa di Istana Merdeka, Jakarta, 12 September 2017. TEMPO/Subekti
Dalam sebuah diskusi panjang, dia juga menghargai kunjungan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan ke Sudan. Osman memuji Turki yang berperan aktif dalam persoalan Sudan.
Infografis: Anak-Anak yang Tewas Selama Konflik Israel-Palestina
Sejak Presiden Amerika Serikat Donal Trump mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel bulan lalu, sejumlah akademisi dan politikus Arab menyeru agar Sudan melakukan normalisasi dengan negara Yahudi tersebut meskipun masih menduduki wilayah Palestina. Menurut Osman, seruan itu terbatas dan tak bunyi.Alissa Lual, ibu dari tiga anak membawa derigen untuk mengisi air di dekat kamp Pengungsi Internal di desa Barmayen, Sudan Selatan, 22 November 2017. Lebih dari 4.000 orang telah meninggalkan desa mereka setelah terjadi bentrokan antara pemerintah dengan militan yang menderita kekurangan makanan dan air bersih. AFP PHOTO / Albert Gonzalez Farran
"Mengapa harus melakukan normalisasi? Berubah untuk apa" tanyanya. "Sayangnya seruan normalisasi itu disampaikan oleh tokoh-tokoh tertentu saja yang tidak memiliki pengaruh."
Baca: Perampokan Sapi, Ribuan Orang Tewas di Sudan Selatan
Namun demikian, seruan dari para politikus Sudan itu muncul kembali di tengah kemarahan negara-negara Arab dan muslim yang berkomitmen bahwa Yerusalem Timur adalah ibu kota Palestina yang diduduki Israel sejak 1967. Palestina meminta menjadi ibu kota negara sesuai dengan resolusi PBB dan Perjanjian Gencatan Senjata 1949.