TEMPO.CO, Jakarta - Dengan bermodalkan pengakuan Amerika terhadap Yerusalem sebagai ibukota Israel, pemerintah sayap kanan negara itu telah mempercepat rencana untuk memperkuat penguasaan atas kota suci 3 agama Abraham tersebut.
Dalam sebuah sesi sidang sepanjang malam, Knesset, parlemen Israel, memberlakukan undang-undang pada Selasa, 2 Januari 2018 sehingga lebih sulit untuk menegosiasikan Yerusalem sebagai bagian dari proses perdamaian.
Baca: Parlemen Israel Loloskan RUU Yerusalem, Warga Palestina Diusir
Kota suci Yerusalem adalah isu yang paling sensitif dan mungkin paling penting dalam konflik Israel-Palestina, dengan bagian kota diklaim oleh kedua belah pihak sebagai ibukotanya.
Hanya beberapa hari sebelumnya, sebuah badan pemandu untuk partai Likud yang mendukung Perdana Menteri Benjamin Netanyahu memilih dengan suara bulat untuk menerapkan undang-undang Israel ke permukiman Tepi Barat. Meskipun pemungutan suara itu tidak mengikat, tindakan semacam itu akan dilihat sebagai aneksasi Israel di wilayah tersebut.
Undang-undang tersebut disahkan sebagai amandemen Undang-Undang Dasar Israel atau konstitusi untuk memberikan bobot politik yang lebih besar. Amandemen tersebut menetapkan bahwa setiap usaha untuk mengalihkan kendali kedaulatan Yerusalem ke entitas asing perlu disetujui oleh super mayoritas 80 anggota Knesset dari 120 orang.
Sebelumnya, persyaratannya adalah mayoritas dari 61 anggota.
Baca: 5 Fakta Penting Tentang Yerusalem
Dan, dalam sebuah langkah yang pastinya diwarnai kemarahan orang-orang Palestina, amandemen tersebut juga memberi wewenang kepada Knesset untuk mengubah batas kota Yerusalem dengan persetujuan mayoritas sederhana. Setiap lingkungan yang dipindahkan dari kota tetap berada di bawah kedaulatan Israel. Itu memungkinkan Israel memindahkan lingkungan Palestina dari kota tersebut sesuai Rencana Yerusalem Raya yang digalakkan oleh anggota koalisi pemerintahan Netanyahu.
"Tujuannya adalah salah satu yang diinginkan oleh mayoritas orang Yahudi Israel, bahwa Yerusalem akan tetap menjadi ibukota dan kota mayoritas Yahudi" kata Wakil Menteri Michael Oren.
Memuji bagian amandemen tersebut, Menteri Pendidikan Naftali Bennett mengatakan, "Pemahaman kita jelas: Tidak ada orang Yahudi yang memiliki wewenang untuk melepaskan bagian dari tanah ini."
Baca: Isu Yerusalem, Parlemen Arab Lobi Pendirian Negara Palestina
Juru bicara Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas, Nabil Abu Rudeineh, mengatakan undang-undang yang dibuat oleh Israel ini adalah deklarasi perang terhadap rakyat Palestina dan identitas mereka.
"Tidak ada legitimasi terhadap keputusan Trump, dan tidak ada legitimasi terhadap semua keputusan Knesset Israel. Kami tidak akan mengizinkan dengan cara apapun untuk membiarkan rencana semacam itu yang berbahaya bagi masa depan kawasan ini dan dunia yang akan dilalui," kata Rudeineh seperti dikutip dari CNN.
Menurutnya, memajukan rencana tersebut juga akan memicu kerusuhan di kota dan wilayah yang belakangan ini terus diliputi demonstrasi reguler sejak pengakuan Trump terhadap Yerusalem sebagai ibu kota Israel pada awal Desember 2017.
Undang-undang yang diloloskan oleh parlemen Israel, Knesset, itu mendapatkan dukungan dua pertiga anggota parlemen untuk menguasai sepenuhnya kota suci Yerusalem.
Setelah disahkan, Israel mulai mengusir orang-orang Palestina yang berada di yuridiksi kota Yerusalem.