TEMPO.CO, Riyadh -- Sistem pertahanan udara Arab Saudi menembak jatuh sebuah rudal balistik yang ditembakkan milisi Houthi ke arah ibu kota Riyadh. Serangan yang terjadi pada Selasa, 19 Desember 2017, ini bisa meningkatkan perang proxy antara Saudi dan Iran. "Tidak ada korban akibat serangan ini," begitu dilansir Reuters, Selasa, 19 Desember 2017.
Milisi Houthi mengatakan serangan itu ditujukan ke Istana Yamama, yang menjadi pusat pemerintahan Arab Saudi. Serangan misil dilakukan pada saat sejumlah pemimpin Saudi sedang menggelar rapat internal. Lewat pernyataan di stasiun televisi Al-Masirah, milisi Houthi mengatakan sejumlah lokasi penting di Saudi berada dalam jangkauan serangan rudal ini seperti istana, markas militer, dan instalasi pengeboran minyak.
Baca: Gereja di Jerman Tuntut Ekspor Senjata ke Arab Saudi Dihentikan
Menurut pemerintah Saudi, serangan rudal itu ditujukan ke kawasan perumahan dan tidak menimbulkan kerusakan. Ini adalah serangan terbaru dari beberapa kali serangan rudal yang ditujukan kepada Riyadh oleh milisi Houthi.
Baca: Seusai Dilepas Otoritas Saudi, Konglomerat Al-Masri Bilang Ini
"Pasukan koalisi mengkonfirmasi berhasil mencegat serangan misil Iran-Houthi yang mengarah ke kawasan selatan Riyadh. Tidak ada korban dalam peristiwa ini," begitu pernyataan dari Pusat Komunikasi Internasional yang dikelola Arab Saudi lewat pernyataan di akun Twitter.
Menurut Kantor Berita Arab Saudi (SPA), misil buatan Iran menjadi ancaman stabilitas di kawasan ini. Milisi Houthi dituding menggunakan pintu masuk bantuan kemanusiaan ke Yaman untuk menyelundupkan sejumlah misil buatan Iran.
Pemerintah Amerika Serikat menyatakan memantau perkembangan yang terjadi. "Kami bekerja sama secara dekat dengan rekan Saudi agar mereka memiliki sumber daya yang dibutuhkan untuk mempertahankan wilayahnya terhadap serangan ke kawasann pemukiman penduduk," begitu pernyataan dari seorang pejabat AS.
Serangan misil ke Riyadh ini dilakukan untuk memperingati 1000 hari sejak dimulainya serangan koalisi Saudi ke Yaman pada Maret 2015. Ini terjadi setelah pasukan koalisi Iran di Yaman menjatuhkan Presiden Abd-Rabbu Mansour Hadi, yang mengungsi.
"Musuh punya kalkulasi bayangannya sendiri. Tapi setelah 1000 hari, kami mengalami kemajuan pesat," kata Abdel-Malek al-Houthi, seorang pemimpin milisi Houthi, dalam pernyataan di televisi Al-Masirah.
Sedangkan pemerintah Uni Emirat Arab, yang menjadi sekutu Saudi, mengatakan serangan misil itu menunjukkan Operation Decisive Storm masih dibutuhkan. Sedangkan Perdana Menteri Lebanon, Saad al-Hariri, mengutuk serangan itu. Hariri sempat menyatakan mundur dari posisinya saat berada di Riyadh pada awal Nopember lalu namun belakangan mengurungkan niatnya itu.
REUTERS