TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Rodrigo Duterte meminta Kongres untuk memperpanjang darurat militer di wilayah selatan Filipina sampai akhir tahun depan untuk memerangi milisi teroris dan komunis.
Dalam sebuah surat kepada anggota parlemen yang dikeluarkan oleh kantor kepresidenan pada Senin, 11 Desember 2017, Duterte mengatakan, memperpanjang masa darurat militer diperlukan di wilayah selatan Mindanao untuk menangani pemberontakan yang sedang berlangsung oleh pendukung kelompok teroris dan juga meningkatnya ancaman dari gerilyawan komunis.
Baca: Duterte Butuh Setahun Akhiri Krisis Marawi
"Saya meminta Kongres Filipina untuk memperpanjang darurat militer dan menangguhkan hak istimewa habeas corpus di seluruh Mindanao untuk jangka waktu satu tahun mulai 1 Januari 2018," demikian isi surat Duterte, seperti yang dilansir Channel News Asia, pada 11 Desember 2017.
Duterte pada awalnya memberlakukan kekuatan militer di Mindanao, yang mencakup sepertiga bagian selatan negara ini dan merupakan rumah bagi sekitar 20 juta orang, pada Mei lalu untuk memadamkan aksi teror oleh pendukung ISIS di kota Marawi.
Ratusan orang bersenjata mengamuk di Marawi, yang menurut pihak berwenang merupakan bagian dari kampanye untuk membangun kekhalifahan Asia Tenggara.
Baca: Duterte Ultimatum Militer Berangus Teroris di Marawi dalam 3 Hari
Kekuatan militer yang didukung Amerika Serikat dan tentara Cina membutuhkan waktu 5 bulan untuk mengalahkan milisi dengan menewaskan lebih dari 1.100 orang dan meninggalkan reruntuhan berserakan di sebagian besar kota Marawi.
Meskipun Duterte menyatakan Marawi telah dibebaskan pada Oktober lalu, dan kepala militer mengatakan sebagian besar pemimpin milisi telah terbunuh, pihak berwenang masih terus memperingatkan bahwa milisi yang melarikan diri telah kembali dan merekrut milisi baru di Mindanao.
Periode awal darurat militer dibatasi oleh konstitusi menjadi 60 hari. Tapi anggota parlemen pada Juli mendukung perpanjangan sampai akhir tahun ini.
Baca: Duterte Ancam Makan Hati Milisi Abu Sayyaf Pasca Penggal Sandera
Darurat militer adalah isu yang sangat sensitif di Filipina, setelah diktator Ferdinand Marcos menggunakan darurat militer sebagai senjata kunci untuk memegang kekuasaan satu generasi yang lalu.
Duterte yang telah memuji Marcos, telah berulang kali mengatakan bahwa dia dapat memberlakukan darurat militer di seluruh negara.
Kelompok hak asasi manusia dan kritikus lainnya memperingatkan bahwa Duterte menghancurkan demokrasi di Filipina dengan peraturan yang ketat dan perang melawan narkoba yang telah menyebabkan ribuan nyawa melayang.
Tetapi banyak orang Filipina terus mendukung Rodrigo Duterte, percaya bahwa taktik keras dibutuhkan untuk memecahkan masalah yang mengakar seperti konflik puluhan tahun dengan milisi teroris dan komunis.