TEMPO.CO, Jakarta - Panglima militer Myanmar, Jenderal Min Aung Hlaing mengatakan kepada Paus Fransiskus bahwa tidak ada diskriminasi agama di negara tersebut. Hal itu disampaikan Hlaing saat bertemu pemimpin umat Katolik sedunia yang berkunjung ke negara mayoritas Budha itu.
Kantor Jenderal Min Aung Hlaing mengatakan dalam sebuah pernyataan di Facebook bahwa akan menjaga perdamaian antaragama, persatuan dan keadilan. Jenderal tersebut menambahkan bahwa tidak ada penganiayaan atau diskriminasi agama atau etnis di Myanmar, dan bahwa pemerintah mengizinkan warga menjalankan kepercayaan yang berbeda.
Baca: Paus Fransiskus Diingatkan Tak Gunakan Kata Rohingya di Myanmar
"Di Myanmar sama sekali tidak ada diskriminasi agama. Demikian juga militer. Kami menjaga perdamaian dan stabilitas negara," kata Hlaing seperti dikutip dari Guardian.
Vatikan mengatakan bahwa pertemuan dengan Jenderal Min Aung Hlaing dan 3 pejabat dari biro operasi khusus Myanmar berlangsung pada Senin malam, 27 November 2017 di rumah Uskup agung Myanmar selama sekitar 15 menit.
Juru bicara Vatikan Greg Burke tidak memberikan rincian pertemuan Paus Fransiskus dan Jenderal Hlaing.
Baca: Paus Fransiskus Berkunjung ke Myanmar Temui Rohingya dan Suu Kyi
Jenderal Hlaing bertanggung jawab atas operasi militer di negara bagian Rakhine, di mana pasukan keamanan telah meluncurkan kampanye melawan Muslim Rohingya yang telah memaksa lebih dari 620.000 orang Rohingya melarikan diri ke negara tetangga, Bangladesh.
Hari ini, Paus dijadwalkan untuk bertemu dengan pemimpin sipil negara tersebut, Aung San Suu Kyi.
Pidato Bapa Suci di hadapan Suu Kyi, otoritas Myanmar lainnya dan korps diplomatik adalah bagian dari kunjungan yang paling dinanti-nantikannya, mengingat munculnya protes tas tindakan keras militer Mynamar terhadap Rohingya yang dikecam hampir di seluruh dunia.
Baca: Paus Desak Myanmar Hentikan Kekerasan terhadap Rohingya
Amerika Serikat dan PBB menyebut perlakuan terhadap Rohingya sebagai pembersihan etnis. Operasi militer Myanmar di Rakhine yang digelar pada akhir Agustus setelah gerilyawan Rohingya menyerang pos keamanan.
Paus Fransiskus juga telah diingatkan oleh Gereja Katolik Myanmar untuk tidak menggunakan istilah Rohingya pada pidatonya tersebut. Sebuah istilah yang dijauhi oleh banyak orang di Myanmar karena kelompok etnis tersebut bukanlah minoritas yang diakui di negara tersebut.