TEMPO.CO, Berlin - Kanselir Jerman Angela Merkel menghadapi krisis politik terbesar dalam kariernya ketika upaya membentuk pemerintahan baru berakhir dengan kegagalan.
"Ini menggoyang negara, yang menjadi jangkar stabilitas ekonomi dan politik Eropa," demikian seperti dilansir New York Times, Senin, 20 November 2017.
Kegagalan membentuk pemerintahan baru pasca-pemilu, yang berlangsung dua bulan lalu, membuka peluang digelarnya pemilu baru. Dan peluang Merkel, yang menjadi ikon nilai demokrasi barat, masih terbuka untuk menjadi kanselir pada periode keempat.
Baca: Jerman Gelar Pemilu Hari Ini, Merkel Diperkirakan Lanjut Kanselir
Merkel masih berharap bisa membentuk pemerintahan mayoritas dengan berkoalisi. "Saya tidak ingin mengatakan tidak akan terjadi, tapi saya sangat skeptis. Dan saya meyakini pemilu baru menjadi jalan yang lebih baik ke depan," katanya kepada media setempat, Senin.
Baca: AfD, Partai Neo-Nazi Akhirnya Masuk Parlemen Jerman
Pemerintahan baru mayoritas gagal terbentuk karena Merkel, yang berasal dari Partai Demokrat Kristen atau Christian Democratic Union dan partai calon koalisi, Green dan Free Democrat, gagal berkompromi mengenai posisi-posisi kunci. Free Democrat dikenal sebagai partai probisnis.
Sedangkan Green memiliki agenda pembangunan berbasis lingkungan. "Pemerintahan koalisi tidak terbentuk," kata Thomas Kleine-Brockhoff, Direktur German Marshall Fund, yang berbasis di Berlin. "Ini wilayah politik yang tidak jelas sejak 1949 dan membuat terjadinya stagnasi politis. Ini tidak akan segera hilang, tapi juga jalan keluarnya belum jelas."
Menurut aturan, pemilu baru tidak bisa langsung digelar. Krisis politik ini mulai terjadi sekitar tujuh pekan lalu saat partai sayap kanan, Alternative for Germany atau AfD berhasil masuk parlemen. Pengamat politik menilai politik Jerman, yang biasanya stabil dan jauh dari perdebatan panjang, bakal berubah dengan kehadiran AfD, yang memiliki agenda nasionalisme menonjol dibanding partai-partai lain.
NEW YORK TIMES