TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Luar Negeri Korea Utara mengatakan kemampuan nuklir negara komunis itu nyaris setara dengan Amerika Serikat.
“Tujuan utama kami adalah mencapai keseimbangan dengan Amerika Serikat. Jadi mereka tidak berani bicara soal serangan militer terhadap DPRK (Democratic People's Republic of Korea),” kata Choe Sonhui, Direktur Kementerian Luar Negeri Korea Utara untuk Departemen Amerika Utara, dalam sebuah konferensi non-proliferasi nuklir di Moskow, Jumat, 22 Oktober 2017.
Madame Choe menegaskan urusan nuklir ini dianggap sebagai urusan hidup dan mati negara itu. Sehingga, rezim Kim Jong Un tidak berencana mendiskusikan ini dengan Amerika Serikat.
Menurut peneliti senior di Akademi Rusia untuk Ilmu Pengetahuan tentang Pusat Studi Korea, Evgeny Kim, klaim Choe itu berlebihan. Saat ini, Korea Utara tidak memiliki kemampuan memproduksi massal senjata nuklir dan rudal pengangkutnya.
Dalam foto yang dirilis oleh Kantor Berita KCNA pada 5 Juli 2017 menunjukkan Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un bersama sejumlah ilmuwan dan teknisi dari Akademi Pertahanan DPRK mengecek rudal balistik antarbenua Hwasong-14 sebalum diuji, di barat laut Korea Utara. KCNA via REUTERS
Tapi, Kim melanjutkan, Korut memiliki kemampuan untuk menyerang kekuatan militer AS. “Contohnya, kapal induk USS Ronald Reagan yang memimpin rombongan kapal induk berada di Laut Jepang. Korea Utara bisa menggunakan semua kemampuan teknologi rudalnya untuk menghancurkan kapal induk ini. Dalam konteks ini, ada benarnya klaim Pyongyang bahwa mereka mampu menyerang dengan kuat militer AS,” kata Kim.
Konfrontasi Korea Utara dan Amerika Serikat meningkat drastis sejak awal pekan ini. Ini terjadi setelah AS dan Korea Selatan menggelar latihan perang bersama di Semenanjung Korea. Latihan ini melibatkan tidak kurang empat kapal induk AS dan ribuan tentara.
Ini termasuk 40 kapal perang kedua negara, yang didukung pesawat pengebom strategis supersonic B1-B. Mesin-mesin perang supercanggih ini bertebaran dari Laut Kuning hingga Laut Jepang.
Tekanan AS terhadap Korut juga meningkat dengan pernyataan Direktur CIA, Mike Pompeo, yang mengatakan pemimpin Korut bisa saja raib tiba-tiba.
Mike Pompeo dan Kim Jong-un. politics.com.ph
“Dengan hormat ke.. Jika Kim Jong Un menghilang, melihat rekam jejak CIA, maka saya tidak akan bicara apa-apa soal itu,” kata Pompeo ketika ditanya dalam sebuah Forum Diskusi Keamanan Nasional jika Kim Jong Un menghilang, Jumat, 22 Oktober 2017. Forum ini digelar oleh lembaga Foundation for Defence of Democracies.
Ditanya soal pernyataan ini, analis politik Asia Pasifik, Vladimir Terekhov, mengatakan retorika ini bagian dari strategi Washington untuk menekan Cina.
“Saya kira hal serius belum akan terjadi sebelum kedatangan Donald Trump ke Beijing pada 8 Nopember 2017. Ini karena semua retorika AS dan tindakannya di Semenanjung Korea ditujukan tidak hanya ke Korut tapi justru kepada Cina, yang menjadi musuh geopolitis utama AS di kawasan ini,” kata Terekhov.
Namun, Terekhov melanjutkan ada kemungkinan AS dan sekutunya menggelar serangan militer jika penanganan senjata nuklir Korea Utara tidak menunjukkan hasil.
Cina dan Rusia telah merekomendasikan Pyongyang untuk mendeklarasikan moratorium tes nuklir baru dan peluncuran misil baru. Kedua negara juga meminta Seoul dan Washington menghentikan kegiatan latihan perang bersama di kawasan ini.
SPUTNIKNEWS | SCMP | BUDI RIZA