TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah jurnalis Amerika Serikat dan negara-negara di kawasan Asia menyebutkan jurnalis belum sepenuhnya memahami liputan isu-isu agama.
Peggy Fletcher Stack, jurnalis Salt Lake Tribune, Amerika Serikat, mengatakan tantangan meliput isu agama di negaranya adalah jurnalis tidak punya latar belakang pemahaman yang cukup tentang isu ini.
“Beberapa liputan isu agama sangat dangkal dan stereotipe karena jurnalisnya tidak punya pemahaman yang baik,” kata Peggy di sela konferensi bertajuk Reporting Religion in Asia di Universitas Multimedia Nusantara Tangerang, 17 Oktober 2017.
Baca: Konflik Atasnama Agama Berpotensi Terjadi di Asia Tenggara
Konferensi yang berlangsung hingga 19 Oktober itu melibatkan 70 peserta, yang di antaranya merupakan jurnalis dari kawasan Asia. Konferensi ini diselenggarakan The International Association of Religion Journalist (IARJ) dan Serikat Jurnalis untuk Keberagaman atau Sejuk.
Peggy Fletcher Stack merupakan jurnalis yang mendalami isu agama selama 25 tahun. Ia merupakan anggota pendiri IARJ, asosiasi jurnalis peliput isu agama yang akurat, berimbang, dan adil. Asosiasi ini punya lebih dari 500 anggota yang tersebar di 90 negara.
Peggy merupakan jurnalis yang meraih banyak penghargaan karya jurnalistik bergengsi. Ia bagian dari tim investigasi Salt Lake Tribune, yang memenangi penghargaan Pulitzer karena liputannya tentang serangan seksual di perguruan tinggi di Utah, Amerika Serikat.
Menurut dia, jurnalis peliput isu agama yang bagus adalah jurnalis yang punya kemampuan dan pengetahuan cukup tentang agama, memahami konteks, dan berpengalaman. Pengetahuan yang cukup itu akan membantu jurnalis untuk menghasilkan peliputan yang mendalam dan kejelasan mengenai isu-isu agama yang kontekstual.
Baca: Peneliti: Pemerintah Lamban Atasi Intoleransi Yogyakarta
Peggy mengatakan, pengetahuan dan pemahaman tentang isu agama misalnya adalah kemampuan memahami teks-teks dalam kitab suci agama. Ia mencontohkan beberapa orang seringkali menyebut kekerasan disebutkan dalam kitab suci Al Quran. Padahal, dalam Al Quran tidak ada unsur kekerasan. Begitu juga dalam Al Kitab tidak mengajarkan kekerasan. Peggy telah membaca dan mempelajari Al Quran maupun Al Kitab untuk memahami teks-teks kitab suci itu.
Persoalan yang sama dihadapi oleh jurnalis di kawasan Asia. Wartawan freelance asal Filipina, Isabel Templo, mengatakan jurnalisme agama di Filipina belum benar-benar diakui keberadaannya. Jurnalis di sana baru memulai isu ini dan belum sepenuhnya memahami bagaimana memberitakan tentang resolusi konflik berbasis agama.
Dia mencontohkan konflik di Marawi, yang menggambarkan seakan-akan ada perang antara Islam dan Kristen. “Itu konyol sekali. Pemberitaan juga masih Manila sentris,” kata Isabel. Ia juga memamparkan populasi penganut agama di Filipina, yang di antaranya didominasi Katolik sebanyak 80 persen dan Muslim lebih dari 5 persen.
Baca: Antropolog: Ketidakadilan Pusat dan Daerah Picu Intoleransi
Jurnalis ART Television Broadcasting Company, Sri Lanka, Indeewari Saundika Amuwatte, mengatakan di negaranya belum banyak jurnalis yang meliput isu agama secara serius dan tekun. Liputan tentang isu agama umumnya tidak laku di sana. “Tidak banyak pelatihan untuk mendukung jurnalis benar-benar memahami isu agama,” kata Indeewari.
Ia bercerita di Sri Lanka Sri Lanka pernah terjadi konflik berdarah yang membuat umat Muslim mengalami serangkaian kekerasan. Politisi di negara itu, kata Indeewari menggunakan agama untuk membuat orang saling bertengkar. Kekerasan, kebencian, dan prasangka waktu itu semakin menguat.
Jurnalis Malay Mal Online, Malaysia, Zurairi Abd Rahman, mengatakan tidak ada media yang secara khusus meliput isu agama di Malaysia. Seperti Indonesia, di negara itu, kalangan minoritas seperti Syiah dan Ahamadiyah mengalami diskriminasi karena dianggap sesat. “Sejumlah ceramah-ceramah pemuka agama juga berbahaya karena memecah belah,” kata dia.
SHINTA MAHARANI