TEMPO.CO, Jakarta - Baru-baru ini muncul berita soal bocornya data sensitif Australia terkait pesawar tempur baru F-35 dan pesawat pengintai P-8, yang diduga dicuri hacker asal dari Cina.
Munculnya berita pencurian data sensitif Australia oleh hacker Cina bukan pertama kalinya terjadi.
Pada 2013, cetak biru rahasia markas besar Organisasi Intelijen Keamanan Australia (ASIO) di Canberra dicuri dalam serangan siber, yang juga diyakini dilakukan hacker asal Cina.
Baca: Hacker Cina Serang Militer Australia, Curi Informasi Sensitif Ini
ASIO merupakan badan keamanan nasional Australia yang bertanggung jawab atas perlindungan negara dan warganya dari spionase, sabotase, tindakan campur tangan asing, kekerasan bermotif politik, serangan terhadap sistem pertahanan Australia, dan terorisme.
Baca: AS dan Korea Utara Mulai Ngobrol, Ini Kata Profesor Cina
“Ada banyak materi intelejen, materi espionase yang kami tidak komentari,” kata Mark. Dia beralasan membicarakan soal ini secara terbuka bisa merugikan kepentingan Australia.
Baca: AS Ucapkan Terima Kasih Cina Dukung Sanksi PBB ke Korea Utara
“Semakin banyak dibuka mengenai aktivitas mata-mata dan aspek kontra intelejen, maka musuh kita, orang yang melakukan kegiatan mata-mata, akan tahu mengenai kemampuan dan metode yang kita miliki untuk mendeteksi kegiatan mata-mata atau ancaman siber,” kata Mark menambahkan.
Menurut informasi yang diperoleh ABC News, cetak biru yang dicuri terkait sistem keamanan dan komunikasi bangunan, denah, dan lokasi server di markas besar baru ASIO, yang sedang dalam proses pembangunan.
Para ahli mengatakan pencurian informasi sensitif ini membuat lembaga ASIO menjadi mudah dimata-matai. Peristiwa ini juga diduga menjadi penyebab mengapa biaya konstruksi pembuatan markas baru ASIO itu melonjak tinggi.
Program ABC Four Corner menemukan operasi siber ini menargetkan kontraktor yang terlibat dalam pembangunan markas ASIO itu.
Serangan siber ini datang dari sebuah server di Cina yang tampaknya menjadi tersangka utama di balik operasi intelejen cyberwarefare itu.
Program ini juga melaporkan bahwa Departemen Pertahanan, kantor Perdana Menteri dan kabinet, serta kantor Urusan Luar Negeri dan Perdagangan Australia telah dijebol dalam operasi serangan siber yang berkelanjutan.
Bank sentral dan Biro Statistik juga mengkonfirmasi kedua lembaga telah menjadi sasaran serangan siber, yang menurut mereka tidak berhasil.
Jaksa Agung Federal Mark Dreyfus telah menolak untuk mengatakan apakah peretasan itu terjadi. "Ada banyak materi intelijen, materi terkait spionase yang tidak (dapat) kami komentari," katanya.
"Semakin banyak yang diungkapkan tentang apa yang diketahui soal kegiatan spionase di Australia atau aspek operasional dalam kontra intelijen, semakin banyak lawan kita, orang-orang yang terlibat dalam spionase, akan mengetahui kemampuan kita dan mengetahui metode yang kita miliki untuk mendeteksi spionase atau ancaman siber,” tambahnya.
Direktur Pusat Keamanan Internet, Alastair MacGibbon, mengatakan bahwa pemerintah harus lebih terbuka mengenai apa yang telah terjadi.
"Mungkin ada banyak kebocoran informasi dari berbagai instansi pemerintah tapi kita tidak memiliki budaya di negara ini untuk membicarakannya," kata MacGibbon.
Profesor Des Ball dari Pusat Studi Strategis dan Pertahanan Universitas Nasional Australia mengatakan pencurian cetak biru bangunan markas baru ASIO merupakan masalah yang sangat penting.
"Begitu Anda mendapatkan denah bangunan itu, Anda bisa mulai membangun diagram pemasangan kabel, yang menggambarkan hubungan setiap telepon, lewat koneksi wi-fi, dan ruangan – ruangna yang bisa digunakan untuk obrolan sensitif. Dan bagaimana caranya menaruh berbagai macam alat sadap di dalam dinding di ruangan itu,” kata dia. Inilah bahaya yang bisa terjadi akibat pencurian cetak biru gedung intelejen Australia oleh Cina.
ABC NEWS | DWI NUR SANTI