TEMPO.CO, New York - Perwakilan negara-negara di Perserikatan Bangsa Bangsa menyepakati rencana aksi global untuk memerangi tindak kejahatan perdagangan orang yang diistilahkan sebagai perbudakan di zaman modern. “Ini mesti menjadi prioritas nyata dalam kerjasama international,” kata Sekretaris Jenderal PBB Antonio Gutteres, membuka sidang tingkat tinggi untuk aksi global tersebut di Markas Besar PBB, New York, Rabu 27 September 2017.
Kejahatan perdagangan orang kata Gutteres, terkait erat dengan kemiskinan, pengangguran, ketidakmerataan, konflik senjata, bencana alam, diskriminasi dan kejahatan seksual. Jika sebelumnya orang khawatir anak-anak mereka menjadi korban obat bius, sekarang mereka bisa menjadi korban perdagangan orang. “Kejahatan ini sekarang mengancam kita, di seluruh wilayah dunia,” ujarnya.
Biacara setelah Gutteres, Direktur Eksekutif Kantor PBB bidang obat obatan terlarang dan kejahatan (UNODC) Yury Fedotov meminta pemerintah dunia memberikan dukungan sumber daya. “Kita membutuhkan banyak sumber daya untuk penegakan hukum, mendukung korban, melatih para petugas dan menyelenggarakan kerjasama antar lembaga dan antar negara,” katanya.
Fedotov menjelaskan, para pedagang manusia kini menggunakan teknologi baru dalam aksinya sehingga makin sulit dideteksi. Menurut dia, Dewan Keamanan PBB menengarai ada kaitan erat antara perdagangan orang dengan kelompok bersenjata dan ancaman terhadap perdamaian dan keamanan.
Selama ini, penggalangan dana oleh PBB baru mampu membantu 2.500 korban per tahun, terutama perempuan dan anak-anak, dan mendanai 34 proyek anti perdagangan orang di 30 negara.
Indonesia diwakili oleh Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menegaskan komitmen mendukung rencana aksi tersebut. “Lebih 21 juta orang telah menjadi korban kerja paksa dan perdagangan orang di dunia, kita tidak bisa tinggal diam,” katanya.
Forum hari itu juga menghadirkan Grizelda Grootboom dari Afrika Selatan, yang menceritakan pengalamannya sebagai korban perdagangan orang. Lahir besar di Cape Town, di era Nelson Mandela, dia ditipu oleh seorang teman dan dijadikan budak seks di Johannesburg. “Perjalanan saya berakhir di tangan seorang yang tahu benar bahwa saya sangat menginginkan peluang baru dan kebebasan,” katanya.
Grootboom bercerita, bertahun-tahun dia berusaha keluar tapi tidak bisa. Ketika dia berhasil melarikan diri dan dirawat di rumah sakit, banyak orang masih mencemoohnya dan menganggapnya melakukan itu dengan sukarela. Dia meminta rencana aksi global ini tidak hanya eksis di atas kertas tapi benar-benar hadir di setiap komunitas, kampung-kampung, di seluruh dunia. “Perbudakan seks adalah bentuk penjajahan yang baru, terutama bagi anak-anak kulit hitam,” katanya.
Philipus Parera