Aliran sungai di Dataran Tinggi Islandia yang berkelok-kelok tampak indah dengan latar belakang pegunungan Rhyolite yang tertutup salju sebagian. dailymail.co.uk
TEMPO.CO, Reykjavik - Angin itu berhembus dingin disertai hujan lembut membawa lelehan salju menyambut mereka yang datang dari Damaskus. Ada keriaan di sana, wajah-wajah pengungsi Suriah terlihat sumringah. Islandia, negeri penuh bongkahan es, menjadi harapan Jaoumaa dan keluarganya dari Suriah. Keluarga pengungsi ini tampak bahagia hidup dengan selamat di Eropa.
Dengan jumlah penduduk 330 ribu yang hidup di sekitar gunung berapi, glatser dan geyser, Islandia sesungguhnya bukanlah negeri tujuan bagi pengungsi Suriah yang meninggalkan negerinya akibat perang.
Tetapi, sejak 2015, sebanyak 115 warga Suriah itu menemukan harapan baru untuk hidup di lingkungan bangsa Nordik, Skandinavia.
Banyak di antara mereka tinggal di Libanon selama beberapa tahun sebelum tinggal di negara yang dikeliling gunung es dan berapi yang difasilitasi oleh badan dunia urusan pengungsi (UNHCR).
Hampir seluruh pengungsi asal Suriah itu ditempatkan di ibu kota Reykjavik dan sekitarnya. Sementara itu, pengungsi lainnya tinggal di Akureyri atau 70 kilometer sebelah utara Islandia.
Akureyri saat ini menjadi tempat Joumaa Nasser,istri dan lima anaknya tinggal.
Untuk kehidupan sehari-hari, Kementerian Keuangan Islandia menanggung seluruh biaya sewa rumah dan uang saku harian. Sedangkan Palang Merah Internasional dibebani biaya kurus bahasa dan kebudayaan Islandia.
Bagi Joumaa sekeluarga, kendala utama dia adalah bahasa Islandia sehingga setiap kali berbicara dengan lawannya harus diterjemahkan.
Mengenai iklim dia mengaku bisa beradaptasi.
"Kami sanggup beradaptasi dengan kondisi di sini, meskipun sedikit kesulitan tetapi kami dapat hidup kondisi seperti ini," ujarnya kepada AFP.
Dia meneruskan, "Hanya bahasa yang menjadi kendala utama. Kami butuh waktu untuk bisa benar-benar beradaptasi."