TEMPO.CO, Florida - Akhir Juli lalu, Direktur surat kabar L’Évènement dari Nigeria, Moussa Aksar, menerima panggilan telepon dari seseorang yang suaranya terdengar familiar. Orang itu mengatakan bahwa Aksar dalam bahaya.
"Hati-hati," kata seseorang yang terdengar bersahabat itu. "Jaga dirimu dan hati-hati dengan apa yang kamu katakan di telepon," ujarnya seperti dikutip dari situs Poynter, Sabtu, 3 Desember 2016.
Aksar baru saja mempublikasikan artikel pertama hasil investigasinya atas Panama Paper, dokumen yang berisi nama-nama pejabat dan pengusaha dari seluruh dunia yang pernah menyewa firma hukum asal Panama, Mossack Fonseca, untuk mendirikan perusahaan di yurisdiksi bebas pajak (off-shore).
Dalam surat kabar L’Évènement edisi 25 Juli, halaman depannya memuat cerita dari Aksar terkait seorang pengusaha terkenal yang juga pemodal utama partai politik yang berkuasa di Nigeria yang namanya tercantum dalam Panama Paper.
Surat kabar itu terjual dalam hitungan jam. Publik terkejut dengan terungkapnya cerita itu. "Aksar dilaporkan bersembunyi," kata seorang warga Nigeria dalam akun Facebook miliknya yang menuduh Aksar dicari polisi karena tulisan itu.
"Apakah dia kehilangan kemampuannya untuk membuat cerita palsu?" ujar orang lain menertawakannya. Aksar pun curiga dia dibuntuti seseorang. Dia mengatakan kepada kedua putrinya untuk mengunci pintu dan melepaskan ikat anjing mereka.
Aksar dan surat kabar miliknya ternyata tidak sendirian. Banyak wartawan dan kantor berita lain yang diancam karena mereka menyelediki Panama Paper. Pengungkapan Panama Paper mendorong adanya 150 penyelidikan di 79 negara di dunia.
Menurut survei International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ), politikus, pejabat, dan ribuan pendukung mereka merespon penyelidikan itu dengan ancaman, serangan di dunia maya, bahkan tuntutan hukum.
Reaksi-reaksi keras itu merupakan bagian dari pola penindasan bagi wartawan di seluruh dunia. Sebelumnya, Aksar pernah dipenjara pada 2008 atas laporannya mengenai korupsi serta perdagangan obat-obatan palsu dan bayi di pasar gelap.
"Kami melacak dampak Panama Paper dan tindakan atas wartawan serta organisasi media menyakitkan," kata Direktur Advokasi Committee to Protect Journalists, Courtney Radsch. "Wartawan berada dalam bahaya apabila melaporkan korupsi."