Seorang pria memegang potret Jenderal Aung San, ayah dari Aung San Suu Kyi saat kampanye di kota Hsiseng, Myanmar, 5 September 2015. Komisi Pemilu Myanmar telah mengeluarkan larangan terhadap partai politik untuk mengkritik militer saat berkampanye menjelang pemilihan umum di negara tersebut. REUTERS/Soe Zeya Tun
TEMPO.CO, Yangon - Seorang anggota parlemen oposisi Myanmar dan dua orang lain diserang dengan parang pada Kamis, 29 Oktober 2015. Insiden tersebut menjadikan kasus kekerasan serius pertama dalam masa kampanye untuk pemilu bersejarah pada 8 November mendatang.
Naing Nan Lynn, anggota parlemen majelis rendah dari Liga Nasional Demokrasi (LND) yang dipimpin Aung San Suu Kyi, diserang saat berkampanye sekitar pukul 09.30 waktu setempat oleh tiga pria bersenjatakan parang.
Seperti dilansir News Daily pada 29 Oktober 2015, para penyerangnya seketika itu pula langsung ditahan di kantor polisi. Motif penyerangan oleh ketiganya belum diketahui.
"Satu orang keluar dan mulai berteriak ke arah arak-arakan mobil kampanye. Dia kemudian kembali bersama dua orang lain bersenjatakan parang lalu menyerang orang-orang di sekitar truk kampanye, " kata Aung Myo Oo, manajer kampanye NLD yang menyaksikan serangan itu.
Calon anggota parlemen itu menderita luka serius setelah dipukul di kepala dan lengannya. Kini dia berada dalam kondisi kritis. Dua orang lain yang terluka juga dibawa untuk mendapatkan perawatan di Rumah Sakit Umum Yangon.
Serangan itu kemungkinan akan meningkatkan kekhawatiran keamanan menjelang kampanye akbar Aung San Suu Kyi yang dijadwalkan pada Minggu di Kota Yangon.
Ketegangan telah berlangsung dengan tensi tinggi menjelang pemilu di Myanmar. NLD diharapkan dapat mengalahkan partai penguasa, Partai Uni Solidaritas dan Pembangunan (USDP). Namun serangan kali ini adalah kasus paling serius dari kekerasan terkait dengan pemilu sejauh ini.
Pemilu bersejarah akan berlangsung terbuka untuk pertama kalinya di negara itu dalam 25 tahun terakhir. Pemilu berlangsung setelah junta Myanmar menyerahkan kekuasaan kepada pemerintah semisipil pada empat tahun lalu setelah berkuasa selama 49 tahun.