Kisah Wartawan Pemenang Pulitzer yang Ditahan Tentara Khadafi
Jumat, 8 April 2011 13:40 WIB
TEMPO Interaktif, Oklahoma City - Anthony Shadid mengaku menyesal tetap bertahan di Libya. Wartawan pemenang hadiah Pulitzer ini ditahan oleh pasukan yang setia kepada Moammar Kadhafi, mengungkapkan rasa bersalah karena memutuskan untuk bertahan di kota Libya hingga menyebabkan supirnya yang masih muda tewas.
Kamis lalu, Shadid yang menjadi Kepala Biro New York Times di Beirut ini secara emosional menjelaskan kepada audiens di Oklahoma City, bagaimana dia dan tiga rekannya dipukuli dan diancam pada tanggal 15 Maret ketika mereka melaju ke pos pemeriksaan yang dijaga oleh pasukan Kadhafi.
Shadid, bersama reporter sekaligus videografer Lynsey Addario, dan fotografer Tyler Hicks dan Stephen Farrell ditarik keluar mobil dan disekap selama enam hari. Tapi sopir mereka, Mohammed Shaglouf, 21 tahun, tak terlihat sejak penangkapan itu.
Shadid, yang pernah menjadi kepala biro di Kairo untuk The Associated Press dan dua kali memenangkan Hadiah Pulitzer untuk liputan perangnya, mengatakan bahwa ia telah menelpon ayahnya, Buddy, pada malam sebelum ia ditahan. Dia sempat diperingatkan untuk tidak kembali ke daerah tersebut. "Mungkin sedikit angkuh atau sombong, saya berkata, 'Ok ayah saya tahu apa yang saya lakukan.. Aku sudah pernah dalam situasi seperti ini sebelumnya.'"
Shadid berbicara di depan lusinan orang di Oklahoma City National Memorial and Museum. "Saya kira pada beberapa tingkat saya merasa bahwa jika aku tidak bercerita, maka cerita ini tidak akan pernah diberitakan."
Shadid mengatakan bahwa dia yakin bahwa pertempuran di Ajdabiya, yang terletak di Libya bagian timur, akan menjadi "yang menentukan dan penting." Para pemberontak berusaha melawan pemerintahan Kadhafi selama empat dekade di negara itu. "Saya pikir saya sudah cukup untuk cerita yang panjang sebelumnya, tetapi seperti ada sesuatu yang membuat saya harus bertahan."
Setelah wawancara dengan dokter, pasien, penduduk, dan pejuang di garis depan, Shadid datang ke pos pemeriksaan sebelum menyadari bahwa yang dihadapi adalah tentara Khadafi, bukan pemberontak. Saat itu, Shaglouf, sopir muda itu, mengatakan bahwa mereka adalah wartawan, sejurus kemudian semua penumpang ditarik keluar dari mobil.
Mendadak terjadi baku tembak di sekitar mereka dan mereka melarikan diri di belakang beton gudang. Setelah itu, Shadid berbicara kepada para prajurit dalam bahasa Arab.Namun, prajurit itu tidak bisa membantu karena mereka percaya Shadid adalah mata-mata. Mereka kemudian memaksa rombongan tiarap di tanah. "Ketika mereka menyuruh tiarap, maka anda berharap ditembak di kepala, saat dieksekusi."
Shadid dan rekan lainnya diikat dengan kawat, mata tertutup, dipukul dengan kepalan tangan dan popor senapan serta diancam akan dibunuh. Selama beberapa hari berikutnya, mereka ditahan di sebuah ruangan dengan empat kasur kotor dan dinding penuh grafiti. Mereka diperbolehkan untuk membaca Shakespeare dan kadang-kadang menonton CNN, yang memberitakan penahanan mereka. Kini Shadid lega bisa pulang ke Beirut dan bertemu istrinya, Nada Bakri, dan putri. "Bila Anda khawatir tidak bisa pulang ke rumah, rumah menjadi terasa jauh lebih penting,” katanya sambil senyum.
Sementara Bakri, istri Shadid tak keberatan suaminya kembali dikirim ke tempat konflik. "Sebagai seorang jurnalis, saya mengerti apa yang dia lakukan, mencoba untuk menceritakan kisah orang-orang tertindas. Pada akhirnya, dia adalah suami saya, meski hidup tanpa dia dan membesarkan anak-anak adalah hal yang mengerikan," katanya.
Selanjutnya Shadid dan keluarga berencana untuk kembali ke Lebanon minggu depan. Hemm......
CA| NUR HARYANTO